Fisabilillah























Jangan dilarang
Orang yang melayang pandang
Ke sabilillah
ia sudah tau resah nyata semesta
seringai malam bumi kita

Jangan ditahan
Orang yang ingin melempar diri
Ke sabilillah
ia sudah tahu ramuan cinta yang firdaus
juga rejam rintangan itu

Jangan dinanti
Orang-orang yang pergi
Ke sabilillah:
ia sudah tahu ke mana
harus menjual nyawa

(Helvy Tiana Rosa-100 Kisah Luar Biasa dari Orang-orang Biasa)

Hadiah Pertama Buat EMak dari Aisyah

Happy_Birthday_by_Karisca

“Mak, hari ini Mamak masak apa?” Esah yang baru pulang dari sekolah tanpa terpikir untuk membuka sepatu, langsung menghambur ke dapur menghampiri ibunya. Kemudian dia bergelayut di pundak Emak, membuat Emak sedikit terkejut.

“Hek, baunya badanmu, mandi dulu baru dekat-dekat Mamak.” Emak hanya bisa mengerutkan hidungnya karena kedua tangannya masih sibuk menggiling cabe, bawang, tomat di atas batu gilingan.

“Masak apa Mak?” Esah seperti tak menghiraukan sindiran Emak. Rasa lapar di perutnya membuat otak kiri-kanan-depan-belakang-besar-kecil-nya hanya memikirkan makan, makan dan makan.

Emak sedikit menggeser tangan Esah yang masih menggelayuti lehernya. Terasa sedikit tercekik mungkin sehingga membuat Emak susah untuk berkonsentrasi ke racikan sambalnya. Esah segera menarik tangannya namun wajahnya di dekatkan di depan wajah Emak, agar Emak bisa melihat wajah kelaparan dan penasarannya.

“Kau tengok sendiri lah. Masakan kesukaanmu.”

Esah terpancing untuk melihat sekeliling dapur kecil mereka. Dia memutar kepalanya berlawanan arah jarum jam. Kompor yang berkerak, rak piring reyot yang terlihat sempoyongan menahan beban, tempat garam, tempat gula, kantong plastik berwarna hitam, baskom hijau.

AHA! Mungkin di dalam baskom hijau itu. Tanpa ba-bi-bu Esah langsung menjangkau baskom tempat ‘curahan segala rasa laparnya’ yang mungkin sedang meringkuk manja.
Di luar harapan.

“Yah, Mak, masa’ ikan gembung lagi?” Esah meletakkan baskom hijau itu dengan wajah lunglai, baskom tadi sedikit terbanting karena Esah merasa tulang-tulangnya melunak seketika hingga tak mampu lagi menahan berat baskom.

“Banyak kali ceritamu.” Emak sedikit emosi melihat ekspresi Esah yang diluar harapannya.

“Semalam kan udah ikan gembung mak, sekarang ikan gembung lagi.” Tekanan suara Esah menurun. Betapa takut dia jika wanita yang paling dimuliakannya di seluruh jagat raya ini marah. “Bisa ikut gembung perut ini mak.” Esah memukul-mukul perutnya.

Emak sedikit menahan tawa, bagaimana pun juga ekspresi Esah sungguh terlihat lucu, apalagi tiba-tiba Emak membandingkan muka Esah dengan muka ikan gembung yang baru selesai disianginya* tadi. Muncung mereka sama panjangnya.

“Udah sekolah masih aja berkhayal yang tidak-tidak, kalau gembung nanti Emak pijit pakai minyak kayu putih.” Sekilas Emak memutar kepalanya memperhatikan Esah. Terlihat Esah sedang menatapi rombongan ikan gembung yang berjumlah 5 ekor itu dengan tatapan prihatin.

Mending ikan gembung ini yang Mamak gosok minyak kayu putih biar nggak gembung lagi.

Huff…. Esah menghela napas panjang. Emak pun menarik napas tak kalah panjangnya.
***********************************************************

Waktu makan siang tiba. Sebenarnya tak cocok lagi disebut makan siang karena jarum pendek telah menunjuk angka tiga. Tapi begitulah kondisi keluarga Esah. Emak baru pulang meladang pukul satu siang, terkadang pukul dua siang. Lalu sesampainya di rumah Emak segera bergegas ke pasar, sebab pagi-pagi sekali Emak harus sudah hadir di ladang Pak Manan untuk meladang. Emak hadir biasanya pukul setengah enam pagi setelah membangunkan Aisyah, Ikhsan, dan Syaiful untuk sholat subuh. Sarapan mereka telah siap di atas meja kecil yang terletak berdampingan dengan rak piring reyot kesayangan Emak (karena memang cuma satu-satunya dan telah 15 tahun tak pernah diganti) dan menu yang selalu sama, telur dadar, nasi putih, teh manis. Mereka tak pernah protes, kecuali si bungsu Aisyah tentunya.

“Esah mana Pol?” Emak sedikit melongok ke dalam mencari-cari sosok Aisyah.

“Ga tau Mak, kayaknya masih di kamar Mak.” Syaiful beranjak menuju kamar kecil mereka.
Kamar itu berukuran 3 x 4 meter. Cukup besar sebenarnya jika kamar itu dihuni sendirian, namun jika dihuni oleh empat orang, lain cerita. Disudut kanan terdapat sebuah lemari usang, menambah keserasian gambaran kehidupan miskin di rumah gubuk itu. Syaiful melirik dipan yang busanya telah kempis. Tak ada sosok Aisyah disana. Ternyata Aisyah bersembunyi di bawah kolong dipan, merajuk, tak mau makan walau lapar sudah tak tertahankan.

“Ga ada mak, tadi Epol udah cari ke kamar.” Syaiful menghampiri Emak yang sedang membagi tiap-tiap ekor ikan gembung ‘musuh baru Esah’ tadi menjadi dua bagian. Di piring itu hanya ada dua ekor ikan gembung goreng yang dilumuri dengan sambal racikan Emak tadi, sisanya disimpan Emak untuk makan malam. Ikan gembung pertama, Emak bagi menjadi dua bagian sama rata, untuk Syaiful dan Ikhsan. Ikan gembung kedua, Emak membaginya menjadi dua bagian, namun bagian ekor terlihat lebih banyak sehingga bagian satu lagi hanya tinggal duacenti saja menuju kepala, untuk Aisyah dan untuk dirinya sendiri. Begitulah setiap kali makan ikan, Emak selalu mengambil bagian kepala demi Aisyah.

Emak paham, Aisyah sedang merajuk. Bungsu manjanya ini memang sering bertingkah sama jika keinginannya tak terpenuhi. Terutama jika soal makanan. Walau kesal, Emak tak sepenuhnya menyalahkan Aisyah. Sudah hampir 3 hari ini mereka makan ikan jenis yang sama berturut-turut. Pagi, siang, malam, ke pagi lagi sampai malam lagi. Gembung. Memang ikan itulah yang termurah di pasar Pringgan, pasar langganan Emak. Terkadang Emak masih mau menyelingi dengan ikan lain atau bahkan jika beruntung mereka bisa makan dengan lauk ayam dan sayur yang diantar tetangga ujung yang kaya. Namun karena belakangan harus mencicil hutang ke koperasi untuk membeli seragam Aisyah di tahun ajaran yang baru, Emak mesti mengencangkan ikat pinggang. Bukan hanya ikat pinggang Emak sebenarnya tapi juga Syaiful, Ikhsan, dan yang paling Emak sesali, yaitu pinggang Aisyah. Aisyah belum bisa mengerti hal ini, dia masih kelas 3 SD, belum terbiasa hidup dalam keprihatinan seperti kakak-kakaknya yang lain.

“Ya udah, biar saja. Nanti juga kalau lapar nyari sendiri ke dapur.” Emak mengerlingkan mata kepada Syaiful dan Ikhsan, disambut dengan tawa kecil mereka. Emak lalu mengambil kepala ikan gembung dan meletakkannya di atas piringnya. Mereka makan dengan lahapnya, namun Emak sedikit kehilangan selera karena memikirkan Aisyah yang pasti sedang kelaparan.

Di kolong tempat tidur. Aisyah menggosok-gosok perutnya sambil sesekali menggigiti kuku-kukunya.

“Hiks…hiks..hiks..” Aisyah yang masih bertahan di kolong tempat tidur hingga menjelang malam kini mulai meledak tangisnya. Emak yang baru selesai sholat magrib cuek saja. Biarkan, biar tau rasa. Emak melanjutkan ‘ritual’ Magribnya dengan membaca Al-quran.

Setelah membaca ta’awudz lalu diikuti basmallah, Emak langsung menuju ke Surah Al-Baqarah ayat 286. Isakan Aisyah masih terdengar sayup-sayup.

“laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa lahaa maa kasabat wa'alayhaa maktasabat rabbanaa laa tu-aakhidznaa in nasiinaa aw akhthanaa /rabbanaa walaa tahmil 'alaynaa ishran kamaa hamaltahu 'alaa alladziina min qablinaa..”

Lalu lantunan ayat-ayat Emak terhenti, Emak terisak. Tak sanggup menyempurnakannya walau tinggal sedikit lagi. Ayat inilah yang selalu dilantunkan suaminya ketika sedang sakit. Emak membaca terjemahannya di dalam hati.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.

Isakan Emak dan Aisyah beradu, sahut-sahutan. Lalu Aisyah pun menangis kencang. Emak tak tega juga. Emak lalu mengintip Aisyah, “Masih mau disitu terus Sah?” Aisyah menggeleng pelan. “Mau minta maaf sama Mamak?” Aisyah mengangguk. “Lapar?” Aisyah mengangguk lagi, kali ini anggukannya kelihatan agak kencang. “Masih mau makan ikan gembung?” Aisyah mau tidak mau mengangguk.
Emak menarik Aisyah dari kolong tempat tidur kemudian meletakkanya di atas kasur. Tanpa sepatah kata lagi Emak langsung menuju ke dapur, mengambil nasi dan ikan gembung bagian Aisyah lalu melumuri nasi itu dengan kecap. Aisyah paling suka kecap manis. Makan tak terasa nikmat tanpa kecap, itu semboyan Aisyah. Seketika Emak sudah sampai di kamar dengan piring di tangannya. Kali ini Emak ingin menyuapi Aisyah, bungsunya yang manja. Perlahan-lahan Emak menyodokkan nasi di tangannya ke mulut Aisyah dengan tersenyum. Aisyah masih sedikit terisak, mungkin karena dia harus makan ikan ‘musuh’ ini juga akhirnya.
**********************************************************

Rutinitas yang sama. Jam makan yang sama, anggota keluarga yang sama, dan ikan gembung yang sama. Bedanya Aisyah tak pernah bertanya ‘Mamak masak apa?' lagi. Dia telah sedikit belajar tentang kesusahan orang yang tak bisa makan, orang yang kelaparan, orang miskin yang lebih miskin dari keluarganya. Aisyah lebih pandai bersyukur, dia sedang berusaha bersahabat dengan ikan gembung.

Seusai makan siang, Aisyah melihat kalender. Sebulan lagi Emak ulang tahun. Sebenarnya keluarga ini tak pernah kenal dengan yang namanya ulang tahun. Setiap ditanya kapan Emak, Bang Epol, Bang Esan lahir pun mereka suka lupa tanggalnya. Kecuali Aisyah tentunya. Aisyah mencari tahu kapan Emak dan Kakak-kakaknya lahir bahkan dia juga mencari tahu tanggal lahir ayahnya yang telah meninggal ketika Aisyah masih di dalam kandungan. Dia sudah terkena virus ulang tahun di sekolahnya. Setiap anak di sekolah selalu mengingat tanggal ulang tahun teman-teman mereka. Lalu ketika salah satu dari mereka ulang tahun, teman yang lain akan memberi ucapan selamat yang tak lazim. Lemparan telur, tepung, air comberan, minuman bersoda. Benar-benar bau dan kacau balau. Makanya setiap teman-temannya bertanya kapan dia berulang tahun, Aisyah selalu menjawab “lupa”.

Hmmm.. Sebulan lagi.. Masih sempat gak ya? Aisyah menimbang-nimbang sambil beberapa kali memainkan jari-jarinya seperti sedang berhitung. Ah, kayaknya masih.. Aisyah kemudian sumringah. Rupanya Aisyah berencana memberikan kado buat Emak. Kado pertama darinya. Tapi kendalanya adalah dia tak punya uang jajan, hanya punya ongkos naik angkot dan itupun pas-pasan. Namun Aisyah tak kehilangan akal, dia hanya akan memakai ongkos itu setengah saja, hanya untuk naik bis yang pertama sampai simpang Pemda. Seharusnya dia akan naik angkot lagi untuk sampai di depan jalan Nusa Indah, kemudian berjalan kira-kira 500 meter baru sampai ke gubuknya. Namun kali ini untuk menghemat dia akan jalan dari simpang Pemda ke rumah. Sisanya akan ditabung untuk membelikan Emak mukena baru.

“Esah kok makin kurus Mamak liat? Padahal makanmu kan banyak.” Emak memperhatikan Aisyah dari ujung rambut hingga ujung kaki ketika mereka sedang makan siang.

“Ah, Mamak juga.” Aisyah menjawab sekenanya sambil terus melahap makan siangnya.

“Eh, beda. Mamak memang dari dulu kurus. Kalo Esah kan gendut.” Emak menyengir, dia tau Aisyah paling marah kalau dibilang gendut.

“Diet mak, Esah lagi diet.” Aisyah masih cuek dengan obrolan itu karena yang dipikirkannya hanya mukena untuk Emak, sementara uangnya belum pun setengah dari harga mukena yang baru saja dilihatnya setelah pulang sekolah tadi. Tinggal seminggu lagi. Esah masih sempat gak ya?

“Eh, eh, jangan ya Mamak dengar Esah diet-diet lagi. Esah masih dalam masa pertumbuhan, ga ada itu diet-diet. Diet itu nanti pas udah mau nikah.” Emak mengernyitkan kening melihat kelakuan tak lazim bungsunya yang masih berumur 9 tahun 7 bulan ini.

“Iya Mak, lagi latihan, cuma latihan kok.” Aisyah semakin tak fokus. Di pikirannya hanya ada mukena putih bersih itu. Wanginya harum, ada sulaman bunga-bunga kecil berwarna biru-pink di ujung-ujung kainnya. Cantik sekali kalau Emak yang pakai.

“Ah, banyak kali ceritamu.” Emak akhirnya malas berbicara dengan Aisyah, Emak tau Aisyah sedang tidak fokus karena mata Aisyah dari tadi hanya menatap dinding bambu, sekali-kali dipejamkan, bola mata diputar-putar, persis seperti orang bingung. Tapi Emak tak tau apa kebingungan itu, kecuali nanti, seminggu lagi.

Dua hari lagi

Panik, panik, panik!

Aisyah benar-benar panik. Harapannya mulai pupus. Hingga saat ini uangnya baru enam puluh ribu rupiah. Mukena itu harganya seratus lima puluh ribu. Masih kurang Sembilan puluh ribu lagi. Dia menghitung ulang lagi uang yang telah sebulan kurang dua hari ini dia kumpulkan. Tak berubah tetap Rp.60.000,-. Dia belum percaya jika kekurangannya masih begitu banyak. Aisyah mengambil buku tulisnya kemudian dia mencari hasil Rp.150.000 dikurang Rp.60.000 dengan cara hitung ke bawah, seperti yang diajarkan gurunya di sekolah. Tetap juga, masih kurang Rp.90.000.

Tetap ga akan bisa terkejar, Ya Allah, Esah bingung sekarang…
Aisyah sedikit terisak. Dia benar-benar menginginkan mukena itu untuk Emaknya. Mukena Emak cuma satu dan itupun sudah kusam karena tiap seminggu sekali harus dicuci dengan deterjen murahan. Aisyah ingin membahagiakan Emak. Nasehat kakak-kakaknya tempo lalu begitu membekas di hatinya.

‘Esah tau kan, orang tua kita tinggal satu, ya Mamak.. Esah juga tau kan kalau surga di telapak kaki Mamak? Sekarang mungkin kita hidup susah, makan ikan gembung tiap hari, tapi kalau kita berbakti sama Mamak, Insya Allah, nanti kita bisa ngerasain makan ayam kesukaan Esah tiap hari di sana.’ Bang Esan mengacungkan jarinya ke atas. Aisyah menelan ludah. Membayangkan ayam bakar, ayam gulai, ayam semur, didampingi semangka dengan potongan besar, durian, ada juga anggur yang menjuntai-juntai , semua itu mengelilinginya. Di dalam bayangannya Aisyah bingung mau mencicipi yang mana duluan. “Makanya Esah ga boleh lagi bertingkah kayak semalam. Esah ngerti cakap Abang?” Ikhsan mengusap lembut kepala Aisyah. Aisyah mengangguk pelan, kemudian permisi tidur ke Bang Esan untuk meneruskan khayalannya tadi.

Hari Ulang Tahun Emak

Tetap tak cukup untuk mukena. Aisyah tertegun di kamar. Tak sendirian, Emak sedang tertidur pulas. Kelelahan sehabis memanen kol Pak Manan. Di sudut kamar teronggok sekardus penuh berisi kol. Selain memberi uang, pak Manan juga memberikan sedikit hasil panennya ke Emak. Keluarga ini alamat makan sayur kol selama sebulan lebih.
Aisyah memandangi wajah Emak. Jauh sekali kecantikannya jika dibandingkan dengan penghuni surga. Tangan Emak kasar, mukanya hitam, kulitnya mulai terlihat keriput dimakan cobaan. Napas Emak naik turun teratur dan terasa kuat. Mungkin karena kelelahan. Aisyah pun kelelahan. Kelelahan memikirkan uangnya yang tak cukup sampai saat ini. Aisyah memicingkan matanya, mencari ide lain.
Lalu, AHA!! Aisyah mendapat ide.

Kenapa Aisyah gak membelikan Mamak kue tart aja, pake lilin?
Walaupun Aisyah tau kue pasti habis, kalau mukena kan bisa dipakai terus, tapi Aisyah sudah bertekad memberikan sesuatu yang spesial buat Emak dan itu harus dilakukannya. Dia tak sanggup jika harus menunggu setahun lagi untuk memberikan kado buat Emak. Batinnya bisa tersiksa dan mungkin saja Emak nanti sudah beli mukena baru.

Aisyah bergegas bangkit menuju lemari pakaian, lalu mengambil kantongan plastik berwarna hitam yang disembunyikan di balik lipatan bajunya. Dia berganti pakaian lalu mencari sandal hendak keluar membeli kue tart. Tapi.. Malang, sungguh malang… Tiba-tiba langit menumpahkan semua tangisan yang tertahan, halilintar memekikkan kalimat-kalimat yang tercekat. HUJAN LEBAT.

Aisyah terpelongo, hatinya hancur, harapannya kini mulai kosong. Bendungan air matanya pun jebol. Aisyah terisak-isak. Kali ini isakannya tak tertahankan menjadi tangisan yang pecah seketika. Emak mendengar, lalu terbangun.

“Aisyah, kenapa nangis Nak?” Emak mendekati Aisyah dan berlutut di depannya sambil berusaha melihat mata Aisyah. Aisyah mengelak, dia menutupi wajahnya. Dia sebenarnya tak ingin Emak tau kalau dia sedang menangis, tapi mana mungkin ini semua disembunyikan lagi. Emak sudah melihat air mata itu, Emak sudah melihat kegelisahan itu. “Kenapa sayang?” Emak mengelus-elus kepala Aisyah. Aisyah belum mampu berkata-kata. Lalu akhirnya dia tak kuasa juga memendam perasaan kecewa ini sendirian, lalu dia memeluk emak erat-erat. Emak pun menggendongnya ke kamar.

Setelah tangisnya agak reda, Emak kembali menanyakan perihal tangisan itu. “Esah pingin beliin Emak hadiah..” Kalimat Aisyah menggantung karena isakan yang masih tersisa.

“Kenapa? Karena ini ulang tahun Emak ya?” Emak menunduk, berusaha mencari bola mata Aisyah. Tapi Aisyah hanya berani menatap kasur mereka yang sudah jauh dari kata empuk. Aisyah mengangguk perlahan. “Emak gak papa kok kalau ga dapat kado. Emak ga akan nangis lah, Emak janji.” Emak mengangkat tangan kanannya dan membentuk huruf V.

“Tapi Esah pingin ngasih kado spesial buat Mamak.” Kini Aisyah mulai mengangkat wajahnya dan menatap bola mata emak. Dua pasang bola mata yang bening itu saling beradu. Bola mata Emak mulai berkilauan, berkaca-kaca. “Tadinya Esah mau beliin Mamak kue tart, tapi hujan lebat. Esah kesal!”

“Ga boleh kesal, hujan itu rahmat, anugerah dari Allah. Coba Esah bayangin betapa senangnya tanaman, kodok-kodok, ikan-ikan.”

“Tapi kan Esah ga bisa beli kue tart untuk Mamak. Esah tetap kesal!” Aisyah menggigit bibir bawahnya tanda kesal.
Ruangan itu sepi sejenak,hanya terdengar suara parau hujan yang memukul-mukul atap seng mereka. Sekali-kali terdengar suara tetes air membasahi lantai. Mereka sedang berada dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan Emak, entah apa juga yang dipikirkan Aisyah.

Lalu tiba-tiba Emak tersenyum senang. “Mamak punya ide. Gimana kalau kita bikin aja kuenya sendiri, kan ga perlu beli keluar.” Emak dengan semangat menatap Aisyah. Aisyah mengernyit.

“Tapi kita kan ga punya bahannya Mak?” Pertanyaan Aisyah ada benarnya, di rumah itu mungkin ada telur, tapi mungkin cuma tinggal 2 buah, tapi tepung, susu, coklat, mereka sama sekali tidak punya.

“Ga pakai telur, tepung, gula dan bahan-bahan lainnya, malahan ga perlu dimasak. Esah cukup ambil lilin sama korek api di dapur ya.”

Aisyah heran, keningnya makin mengerut. Bibirnya maju. Tanda kalau dia sedang penasaran tapi dia melakukan semua perintah Emak. Aisyah pergi ke dapur mengambil lilin dan korek api. Dengan cepat Aisyah sudah kembali ke kamar karena dia begitu penasaran dengan kemisteriusan Emak. Ketika kembali ke kamar, Aisyah terperanjat melihat apa yang sedang digenggam Emak. Sebonggol besar kol dari kardus di sudut kamar mereka.

“Nah Esah, ayo kita tancapkan lilinnya di atas kol ini.” Aisyah pun menyengir. Masih tak percaya dengan jalan pikiran Emak. Tapi dia tetap melakukannya. Lilin yang tadi digenggamnya kini sudah menancap dalam di kol, lalu Aisyah menyalakan korek api lalu membakar sumbu lilin. Emak ingin buru-buru meniupnya, tapi Aisyah menahannya dengan segera.

“Bentar Mak! Jangan dulu ditiup.”

Aisyah lalu bernyanyi lagu yang paling indah yang pernah Emak dengar sambil memegang ’kol tart’ ulang tahun Emak.

Hepi Besdey to yu.. Hepi Besdey to Yu.. Hepi Besdey to Yu....

Emak memejamkan matanya, menikmati suara cempreng anak bungsunya yang seketika terasa begitu merdu. Setetes air mata Emak tumpah seiring suara tetesan hujan lebat di hati Emak. Emak merasa bahagia.

Lagu pun selesai, Emak meniup lilin pertamanya. Lalu Emak berpura-pura memotong ‘kol tartnya’ dan memberi suapan pertama kepada bungsu kesayangannya. Aisyah melakukan hal yang sama tapi dia lebih jago beracting. Aisyah menyuapi potongan ‘kol tart’ ke dalam mulut Emak. Mereka berdua tertawa bahagia.

Ya Allah, jadikanlah Aisyah anakku ini sebagai salah satu bidadari surga. Doa pertama Emak di hari ulang tahunnya.

Langit gaduh, menggelegar, riuh rendah, sebuah istana sedang dibangun, pagar-pagarnya ditumbuhi bunga mawar merah, dihinggapi kupu-kupu berwarna biru bercampur merah jambu. Perpaduan warna yang mirip dengan bunga-bunga kecil di ujung mukena impian Aisyah. Di depan pintunya tergantung sebuah papan bertuliskan.

Ahlan wa Sahlan ya Aisyah**
*********************************************************
(Shafira Frida)

*dibersihkan
**Selamat Datang ya Aisyah

Pertanyaan yang Membuat Semut, Ulat dan Burung Berang

















Ada semut lewat.
Tanyalah yang ingin kau tanyakan.
“Wajah mereka seperti apa?”
Tubuhnya bergidik. Semut lari tunggang-langgang.

Disusul ulat.
“Rasa tubuhnya seperti apa?”
Ulat meloncat, hampir mangkat.

Tak terjawab…

Biar, kutunggu yang lain lewat di bawah awan yang semakin pekat.

Burung melintas cepat.
“Heey!! Numpang Tanya!!”
Burung kaget, tapi masih mau juga mendekat.
“Suara jeritan mereka seperti apa?”
Burung mematuk kepalaku, lalu pergi berlalu.
Sungguh, hatiku pilu dengan kepala yang mulai membiru.

Terbawa mimpi tentang hari itu, rasa gelisahku..
Betapa pertanyaanku perlu jawaban, membuat lidahku kelu..
Lelah sendi-sendi, membuat ngilu..
Terkapar di kasur menatap kelambu, aku pulas dengan cepat ke alam kelabu.
******************************

Di mimpiku:

Semut, ulat, burung bertandang..
Membawa cambuk sepanjang batang pisang.
Mereka mencambukku dengan berang..
Aku mengerang…
Sakit bukan kepalang..

“Kau manusia kurang kerjaan! Bertanya tentang sesuatu membuat kami tak bisa makan dengan tenang. Padahal kau tau, amalan sholat lah yang pertama akan ditimbang.”

Mereka mencambukku kian keras.
Aku bangun dengan pipi dan badan lebam.
Baru ingat.
Ternyata magrib telah lewat.

Mak, Aku Jatuh Cinta



mak..
aku jatuh cinta..
pada tangan kasar yang memegang tubuhku ketika limbung sehingga aku tak jatuh ke comberan bau itu..
jatuh cinta..
saat dia mengusap bibirku yang belepotan liur dengan bajunya..
aku serasa melayang mak..
ketika dia memeluk tubuhku, aku hirup baunya..
makanya aku tau kalau dia tak punya minyak wangi di atas kaca riasnya..
mak..
dia cinta pertamaku..
dia melantunkan lagu sunyi dengan suara sumbangnya yang membuatku jatuh pulas..

bolehkah mak?
dia memberitahuku, semut itu kecil, dan gajah itu besar..
pelangi itu tak begitu indah, aku tak perlu melihatnya..yang indah adalah wajahku, mak.. itu katanya..
dia mengajariku Tuhan menciptakan berbagai rasa..
tak usah dilihat..
aku tau es itu dingin, api itu yang panas..
Lalu tanah itu yang halus, batu itu kasar..
bunga harum, rumput pun harum, tapi bau mereka berbeda..
untuk apa?
agar gadis sepertiku bisa tetap membedakannya..

Esok hari, dia akan mengajariku naik sepeda..
lalu esoknya lagi mengajariku berjalan sendiri ke pasar..
esoknya lagi, dia bilang akan mengajariku memasak, menjahit..
apa itu mungkin mak?
betapa aku mencintainya..
lihat ini mak, dia memberikanku tongkat baru..
dia mengukir tulisan di bagian ini..
coba lihat mak..
apa bacaannya mak?

Bibir Emak bergerak..
"Emak cinta Erna.."
tapi gadis itu takkan bisa mendengarnya..

besok cinta seperti apalagi?

emak pun rasa ingin mencungkil kedua bola mata..

Ketika Emakku Menggenggam Batu



Kulukis Ka'bah di sudut hati Emakku..
Tirainya putih, terbuat dari kumpulan uban yang tak pernah kau sisir rapi.
Dinding-dindingnya kubuat sedikit mengerut, layaknya tangan keriput yang kuminta mengusap liur kecut..
Pintu-pintunya kubuat berwarna putih, dari sorban malaikat-malaikat penjagamu..
Ka’bah ini khusus buatmu, Mak.

Ka'bah yang gagah Mak?

Emakku meringis perih..

Ditampiknya tanganku

"Jangan buat Emak pilu! Kau lihat? Digenggaman Emak hanya ada batu. Ini pun untuk kurebus bersama madu."

Mataku menyendu..

Lari ke pangkuan Rinduku..

Robb.. Aku tau dia menyimpan rindu.. Karena emakku tidur sambil terus menggenggam batu,
kelelahan seharian melemparkannya ke tiang-tiang pintu..
Berharap Engkau mengubah batu menjadi tiket bertamu..


=================Shafira Frida========================================

Hari Pertama Mengajar Mengaji




Aku kelimpungan..
Papan tulis menggantung di tembok-tembok kurus tak berbadan..
Mengajarkan A-Ba-Ta-Tsa pada mayat-mayat bergelimpangan..
Bibir mereka ikut, pikiran tak turut..
Ibu ayah telah hidup dijemput maut,
Kakak adik susul-susulan..
Hari ini…
Jadwal mereka mengaji, tapi hati tak henti mengkaji..
Suara lemas layaknya mengenas..
Aku menggebrak meja..

“Ulangi!”
“A-Ba-Ta-Tsa, Allah Maha Kuasa..”
“Lebih KERAS!!”
Mereka berteriak, “A-BA-TA-TSA! ALLAH MAHA KUASA!”, serentak
“LAGI!! LEBIH KERAS LAGI!!!”
“A-BA-TA-TSA!!!” ALLAH MAHA KUASA!!”
“LAGI!!!!!!!!!!”

Lalu mereka menangis…

Aku geram, kupatahkan rotan penunjuk kalam mengaji..
Berlari, hingga air mata tertinggal di papan tadi, kusengajai..
Bergumam..

Lihatlah ke atas…
Awan memerah,langit mulai gerah, burung-burung besi memekik hilang panutan, mengencingi kepala-kepala hilang ingatan.. Diiringi pekik tubuh yang berserakan..
Haruskah kalian telan dengan rengekan dan jeritan yang terdengar kian perlahan?


==================Shafira Frida======================================

Tangisan Pilu Ucok dan Ujang


ada dua tangisan..
sayup2 dari balik pagar emas...
ada perut-perut yang diremas, ada tangan-tangan yang meremas...
ada baju-baju yang diremas..

dua tangisan beda dunia..
dua dua menitikkan air mata..
dua dua beda rasa..
dua dua mengusap-usap 'kampung tengah' yang mulai rusuh tak terarah..
warga mulai naik darah, warga mulai resah..
dua dua mereka gelisah..

ada tangisan si ujang yang inginkan sekotak pizza, makanan si mbok kurang ajar itu tak menarik selera..
diremas-remasnya, dibuat-buatnya air mata, dikeras-keraskannya suara, "Lapaaaarrr, Pizzzaaaaaaaaaa!!!"
Mami Papi cuek saja, sedang asyik menggosok berlian, Ujang terisak-isak, Ujang mulai muak..

ada tangisan si Ucok yang inginkan segenggam nasi, walau itu basi..
tongkat ditangan mengais-ngais bak sampah Ujang...
"Pizzaaaaaaaaaa..." sayup-sayup terdengar rengekan Ujang..
Ucok menetes air liurnya, disusul air matanya..
kampung tengah Ucok mulai marah, ucok meringis perih..
diremasnya, ditekuknya, dilipatnya..
Ucok memandangi bak nasinya hari ini, tak ada nasi, walau itu basi..
Ucok terisak..
Ucok mengusap-usap perut kesayangannya..
"Tenang wargaku, kita masih punya mimpi..."

=Shafira Frida=

Menulis Yok..!!



Beberapa waktu belakangan ini hasrat menulisku bergejolak..
Banyak khayalan-khayalan dalam otakku yang berkelebat, dan ingin ku tulis..
tapi..
ya itu dia pas duduk di depan komputer malah blank..blank..blank.. yang ada malah main internet ato game..

kemaren aku baca artikel bagaimana cara menulis yang benar..

1. Jangan menunggu ide datang, tapi jemputlah.. ketikkanlah kata-kata yang terlintas di benak, apapun itu, hingga lambat laun dari kumpulan kata-kata yang kacau balau menjadi kata-kata yang bermakna dan mempunyai pola..setelah diedit sana sini, duar..jadilah sebuah karya..
2. Menurut Buya Hamka, menulis dengan mengumpulkan data terlebih dahulu adalah salah. "Cobalah tulis dari hatimu dahulu. Tangkap ide yang berkelebat agar tak segera lenyap. Alirkan apa saja emosi dan pikiran yang ada di benak dan hatimu. Biarkan ia mengalir sebebas-bebasnya hingga mencapai keutuhan dan garis besar tulisan. Setelah itu barulah kumpulkan serta sisipkan data-data pendukung dalam tulisanmu agar ia lebih berbobot dan argumentatif.” Ide-ide yang berkelebat dikepala biasanya bersifat orisinil, segar, jangan biarkan menguap karena sibuk mengumpulkan data, inilah yang membuat tulisan kebanyakan menjadi kering dan sama sekali tidak menyentuh.
3. Nah, setelah tulisan sudah tuntas ditulis dengan mengindahkan kiat-kiat di atas, “tinggalkan saja barang dua minggu, bersantailah dengan bermain voli dengan tetangga”, pesan, Mohammad Diponegoro. Ini bertujuan untuk menghilangkan rasa narsisme. Biasanya ketika baru selesai mengerjakan sebuah tulisan kita akan terkagum-kagum akan karya kita dan buru-buru di posting, padahal kalau kita 'endapkan' lebih dahulu mungkin ketika kita membacanya kembali akan kelihatan banyak kesalah disana-sini yang penting untuk diperbaiki.

berarti caraku salah selama ini, berharap ingin se-perfect mungkin dengan mengumpulkan data dahulu, baru menulis...
bah..
ayo semangaaatt...raihlah impianmu..


sebagian dikutip dari:
http://nursalam.multiply.com/journal?&page_start=120

Takkan Kujual Langkahmu dengan Harga Seribu



Sudah lama tak kudengar langkahmu..
Langkah yang selalu berubah-ubah rima..
Langkah hati-hati, tak ingin menginjak seekor semut pun yang sedang menjinjing nasi di punggungnya..
Karena kau bilang, nanti kau akan repot mencari keluarganya dan meminta maaf atas kematiannya..

Kau juga suka mengendap-endap melewati pohon mangga, tak ingin membangunkan ratu lebah yang kerjanya hanya tidur meringkuk manja, walaupun aku tau kau sebal dengannya, ya kan?
Kau bilang, kau takut tak punya cukup madu untuk meredam kemarahan bala tentaranya..
Tunggu, mau kau kumpulkan dulu, baru kau akan menggedor kamar si Pemalas itu..

Kau juga punya langkah riang melompat-lompat dan sesekali menepukkan kedua kakimu di udara..
Saat kau berhasil memetik kaktus gurun ternama tanpa duri menempel sedikitpun di dada..
Kemudian kau berikan pada Kekasihmu dengan langkah malu-malu..
Kaktus itupun layu, tak tahan dengan pancaran panasnya pipimu..

Aku paling suka langkah lebarmu, langkah mantap dan sedikit terburu, seperti ada rasa rindu..
Ketika kau menuju rumah berkubah hijau bertahtakan al-qamar wan-najmu,
Lalu kau lantunkan lagu kerinduan-Nya melihat wajah-wajah basah dan hati-hati yang berserah..
Mereka datang dengan langkah bersiap pasrah.
Kaki-kaki mereka basah, lengan pundak saling beradu di belakangmu..
Kau lebarkan kakimu selebar bahu, lalu kau terpaku..
Tergugu, terharu..

Hey…
Aku terpana melihatmu berjalan
Kau di bumi, namun langkahmu membekas di langit..
Lihat jejakmu itu, membuat lubang di langitku, dan menjadi sarang bagi bintang-bintang nakalku..
==========================================
Takkan (PERNAH) kujual langkahmu (WALAU) dengan harga seribu..

=Shafira Frida=

Kakekku Sungguh Kampungan..



dedicated for my "almost dissapear" heroes.. (sebuah puisi sindiran)

Kakekku memalukan..
Dinding masih saja melekat Foto artis 50-an,jenggot, kumis pun acak-acakan..
Cangklong terselip, dia pikir tampan?

Robek
Kreek..
Lumat
Maaat..
Ancang-ancang
“hup.. Gol..”

Tangan ditepuk-tepuk, bibir menyungging, mata mengerling..

Kakeek, kakeek…
Sekarang era bibir mungil, mata centil..
Body bohay, senyum aduhay..
Ck..ck..ck..
Kakek tentu sudah hilang gairah, satu lagi poster ibu berkebaya bermuka pasrah, bersanggul sebesar tampah..

Sekali lagi..
Robek..
“Kreek..”
Lumat..
“Maat..”
Hup.. Gooool..

Bercengkramalah kalian di tong sampah..
Saatnya ganti poster Siti Nurhaliza, paling tidak Rhoma Irama..
Akh.. Sempurna!!
***************************************

Tong sampah berguncang, mengerang…
Badan meriang, bukan kepalang..
Bagaimana tidak?
RA kartini dan Teuku Umar datang bertandang

=Shafira Frida=

Ya Allah, Aku Bukannya Bakhil, Hanya Saja...



Mencoba bercerita dengan tetap mempertahankan bahasa Medanku.. hehe..

Pak Udin pulang dari Surau dengan muka kusut. Wajahnya jadi kian keriput. Pasti ada sesuatu yang dipikirkannya. Padahal ini baru taraweh pertama. Dia berjalan pulang dengan langkah buru-buru sambil tertunduk layaknya orang yang baru ketahuan mencuri sandal di Surau. Tapi eitss, manalah mungkin Pak Udin begitu, Dia bukan orang sembarangan. Sandal dari emas pun bisa ditempahnya ditambah hiasan berlian di pinggirnya. Malahan sandalnya paling bagus diantara jemaat yang lain. Sandalnya dari kulit asli dan kelihatan sangat lembut, menutup jari-jari kakinya dengan bagian belakang yang terbuka sehingga kelihatan tumitnya terangkat bergantian ketika berjalan. Hmm… Pak Udin, ada apa sih sebenarnya? Pak Udin kenapa ya?

Taraweh malam kedua, mukanya tetap kusut tertekuk seperti jeruk purut. Aih, tak enaklah dipandang. Padahal tadi pergi ke surau dengan begitu gagahnya, baju koko ‘Ramadhan’nya tampak rapi, kelihatan teliti sekali yang menyetrika, semerbak wangi parfum Bulgary melayang-layang dibawa angin malam. Sajadah hijau kombinasi kuning dan merah disampirkannya di bahu, kelihatannya mahal. Pak Udin tak pernah lupa lobe putih andalannya yang khusus dibeli di Mekkah.

Sungguh eloknya, benar-benar berpenampilan istimewa ketika ingin menghadap Tuhannya. Subhanallah, banyak jemaah yang melirik pada Pak Udin, mungkin mereka iri, baju mereka seadanya, sudah mulai pudar pula. Sarungpun belum diganti dengan yang baru dicuci. Malah ada abang becak yang memakai baju sehabis ‘narik’, yang basah penuh keringat. Akh.. Parah..
Sebenarnya mereka sadar, begitulah seharusnya, seperti Pak Udin, penampilan kita ketika menghadap Allah yang Maha Agung. Tapi dengan bermacam alasan mereka tak melaksanakannya. Jadi, janganlah iri melihat penampilan elok Pak Udin yang begitu mengistimewakan Tuhannya. Siap-siapkan mata untuk risih dan hati untuk miris melihatnya selama 30 hari ini.

Begitu eloknya dia ketika ingin pergi ke surau, namun begitu kusutnya dia ketika pulang dari surau. Sungguh aneh si Pak Udin.

Tak terasa malam ini taraweh malam ke tujuh belas. Tak ada yang berubah, Pak Udin masih yang paling mantap kalau akan berangkat ke surau, dan sekaligus yang paling kusut ketika pulang dari surau.
Sehabis sholat isya, ustadz pun berdiri menyampaikan ceramah singkat. Sebenarnya tak bisa juga disebut singkat, karena ceramah mereka rata-rata berdurasi 30 menit. Pada saat ceramah itulah, sumber kekusutan Pak Udin dimulai.

*********************************************************
Kotak itu berbentuk balok, cukup mungil, mungkin berukurang sekitar 20x20x20 cm. Itulah kotak yang membuat Pak Udin cemas. KOTAK AMAL. Masing-masing shaf mendapatkan satu jatah kotak. Kotak itu diedarkan dari jemaah satu ke jemaah lain. Tiap orang yang dilewati kotak itu memasukkan uang sekedarnya. Pak Udin terus memperhatikan kotak itu berjalan mendekat ke arahnya. Semakin dekat kotak itu ke tempat dimana dia duduk, maka semakin bertambah rasa cemas dihatinya. Berdegup kencang jantungnya, bercucuran keringatnya. Dan ketika sedikit lagi menghampirinya, Pak Udin langsung berdiri dan melangkah ke toilet. Dia pun lega. Kotak amal itu akhirnya berhasil dihindarinya lagi dengan taktik ‘buang air kecil’ seperti biasanya.

Namun orang-orang tak bisa dibohongi, kelakuan Pak Udin menjadi omongan yang tak bisa dihindari. Apalagi dia terkenal kaya di kampungnya, kalaupun orang miskin yang tak menyumbang tentu tak masalah, tapi Pak Udin adalah orang yang terpandang kekayaannya. Cukup berlimpah hartanya. Anaknya saja dua orang kuliah di luar negeri, di Malaysia dan di Mesir. Menurut warga, tak sepatutnya dia bertingkah layaknya orang yang miskin begitu.

Tak punya uangkah Pak Udin? Tentu mustahil. Bulan puasa pun menjadi bulan yang berkurang keberkahannya di kampung Sei Bamban karena warganya punya topik hangat untuk digunjingkan. “Pak Udin yang takut kotak amal.”

Pak Udin semakin tak kuat menahan rengutan di wajahnya. Semakin tak kuat hatinya menghindari kotak amal. Semakin panas kupingnya mendengar gunjingan warga tentang dirinya. Akhirnya taraweh malam ini dia bertekad untuk memasukkan uang ke kotak amal itu apapun yang terjadi.
Dari tadi siang Pak Udin sibuk sendiri, sibuk tak menentu. Dia menungging mencari-cari sesuatu di kolong tempat tidur, di kantongan baju dan celana, di bawah tempat tidur, di sudut-sudut lemari, dimanapun yang dia curigai tempat sembunyinya sesuatu yang dia cari. Tapi nihil.

Pak Udin tak putus asa, dia terus mencari yang tersembunyi. Dia juga mencari di bawah pot bunga, di tong sampah dekat meja kerjanya, malah dia sampai mengorek-ngorek tanah layaknya ayam sedang mencari makanan. Pak Udin cemas, berkeringat deras, rambutnya basah. Maghrib sebentar lagi, tapi yang dicari blom ditemui. Rasanya dia ingin mati.
Akhirnya Pak Udin menyerah, tapi dia sudah berjanji akan mengisi kotak amal, janji tetap janji, harus ditepati. Otaknya berputar bagaimana cara dia menepati janji, yang dicari belum juga dia temui. Akhirnya setelah buka puasa pikirannya agak cerah, dan setelah konsultasi dengan istrinya, dia mendapatkan solusi.
********************************************************

Pak Udin sungguh berbeda, tak seperti biasanya. Pergi ke surau dengan hati berdendang dan pulang dengan hati meringis. Mulai malam ini akan berbeda, Pergi ke surau dengan hati berdendang dan pulang dengan hati senang. Tak ada lagi yang akan menggunjinginya, warga pun semakin menaruh hormat padanya.
Ah, setelah berkonsultasi dengan isteri tersayang, akhirnya hatinya pun lega, masalahnya pun perlahan reda. Itulah gunanya isteri, menyejukkan hati sang suami dan bersama mencari solusi.

Akhirnya aku bisa juga memasukkan sesuatu ke dalam kotak amal itu, walaupun bukan uang hanya secarik kertas kosong yang potong seukuran uang, tapi tentu Allah akan memaklumi, begitu kata isteriku tersayang.

Pak Udin melangkah pulang dengan mantap, lebih mantap daripada langkahnya pergi ke surau sambil terus berdoa dalam hati, bukan, lebih tepatnya mengoceh.

Allah Robbi..
Sudah Kau saksikan kan tadi? Aku sudah mencari kesana kemari uang yang mungkin tercecer, tapi aku benar-benar tak menemukannya. Aku harap Engkau maklum, wahai Tuhan yang Maha Mengerti.

Satu yang pasti, aku bukannya bakhil, aku hanya tak punya uang kecil.

Inginku, dari Rahimku..




Ruangan yang cuma sejengkal ini…
Hari ini kubersihkan, kurapikan karena penuh dengan tumpukan rinduku pada kalian..
Ini cuma ruangan kosong, tak ada kursinya, tak ada karpetnya..
Yang ada bau minyak wangi yang kutumpahkan di sudut-sudut ruangan agar kalian merasa nyaman..

Kapan kalian datang?
Belumkah puas berada di sana?
Kalau ingin datang, tolong satu persatu..
Jangan berebutan..
Tentara tentu tau aturan, dan bidadari pasti seanggun angin malam…

Mari kita bentuk barisan.
Kau, tentara gagah perkasa, berdiri paling depan!
Perangilah semua kemunafikan! Tancapkan bendera berlafadzkan nama Tuhan!

Kalau kau, Bidadari, duduk di sampingku!
Cukuplah kau mendoakan. Ayunkan tangan penuh kegemulaian, senandungkan puji-pujian yang sudah kuajarkan, jangan sampai sedikitpun kau lupakan..

Kalau aku… ?
Tentu menunggu..
Suatu saat kalian datang menyelamatkanku..

Jika ternyata aku mati lebih dahulu..

~Shafira Frida~

Lelaki Pertamaku




Teringat kepada puisi yang pernah kubuat disaat ku merindukan Buya... Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'afihi, wa fu'anhu..

Bundaku menahan sakit. Berjuang antar hidup dan mati.
Lelaki itu berjalan mondar-mandir di luar pintu dengan keringat yang mengucur.
Dia menunggu suatu jeritan dan tangisan.
Akhirnya..
Bundaku menjerit, dan aku pun menangis keras.
Dia tersenyum lega.
Mengambilku dengan segera ke pelukannya dan membisikkan sebuah lantunan iqomah ke telinga kecilku.
Kata Bunda aku langsung terdiam mendengar syahdu suaranya.
Dia, lelaki pertama yang meredakan tangisku.

Setiap sore dia menimang-nimangku sambil bersenandung. Semua senandung dia lantunkan. Aku semakin sering melihatnya tersenyum. Apa semua karena kehadiranku? Wah, Ge-eR..
Hihihi.. Tapi yang jelas dia pria yang paling mencintaiku karena setiap hari selalu ada puluhan ciuman mendarat di pipiku..
Dia..,lelaki pertama yang menciumku.

Aku pernah marah padanya.
Karena setelah kelahiran adikku, aku merasa cintanya mulai terbagi. Apalagi adikku laki-laki, sang penerus nama dan cita-citanya kelak, sang pengganti nakhoda kalau dia pegi nanti.
Aku marah karena semenjak itu setiap pulang dari kantor bukan aku lagi yang diciumnya pertama kali, tapi adikku itu.
Dia...,lelaki pertama yang membuatku cemburu.

Aku menarik ujung bajunya dan bertanya dengan mata sinis,
"Kenapa sekarang Pia yang nomor dua dicium?"
Aku bersungut-sungut.
Lelaki itu tertawa dan mengulum senyum.
"Pia kan dah 5 tahun Buya cium pertama kali, sekarang gantian ya.. Bunda aja nggak protes jadi yang nomer tiga."
Waaah.. aku semakin panas.
Aku merajuk, menunjukkan watak asli gadis melayu. (hehehe)
Dia membujukku..
Merayuku dengan membelikan majalah 'Aku Anak Sholeh' setiap pulang dari kantor.
Aku pun luluh, mana bisa aku marah berlama-lama pada lelaki pertamaku.
Dia.., lelaki pertama yang merayuku.

Ketika aku remaja. Aku pun mengenal cinta.
Aku mulai genit dan suka berkaca. Memandangi wajah di cermin berjam-jam padahal aku tau wajahku juga takkan berubah.
Dan ternyata Lelaki itu mengintip dari balik pintu kamarku.
Dengan wajah menahan senyum dia berkata, "Anak Buya sekarang sudah besar ya..."
Aku langsung merona, lari secepatnya ke tempat tidur dan menutup mukaku dengan bantal.
Dia.., lelaki pertama yang membuatku tersipu. >_<

Tepat umurku 16 tahun, aku memutuskan menutup auratku.
Aku pun memamerkan penampilanku yang baru pada Lelaki itu.
Dia terpana..
Wajahnya dibuatnya seolah-olah menganga, terkejut..
Dia berpura-pura melihat seorang gadis yang belum pernah dikenalnya dengan wajah yang genit ingin menggoda.
Dia mengusap dada.
"Waaah, ini baru gadis Buya."
Padahal aku tau itu semua hanya pura-pura, tapi aku merona juga.
Dia, lelaki pertama yang memuji kerudungku dan ingin menggodaku. Hihihihi, lucu.. ^_^

Waktu itu hari yang indah.
Lelaki itu bercerita tentang segala impiannya. Kami semua mendengarkan dengan bersemangat.
Mobil butut kami terlihat ramai sekali.
Tiba-tiba dia menatap lurus ke depan, tatapannya seperti melihat sesuatu yang selama ini dinanti.
Kosong..
Tiba-tiba dia terkulai ke samping, tepat ke pangkuan Bunda. Bundapun sempat tertawa karena mengira dia bercanda..
"Buya, Bunda sedang menyetir nih.. Jangan becanda ah.." Bunda berkata genit.
Rupanya dia bergeming. Tak ada reaksi. Aku sadar sesuatu yang kutakutkan hari ini terjadi.
Aku membetulkan posisi duduknya. Aku melihat wajahnya menahan sesuatu yang ingin keluar.
Aku memukul-mukul pipinya, ingin menyadarkannya dari mimpi. Ataukah aku yang sedang bermimpi?
Ku beri dia napas buatan, kututup hidungnya, kupompa jantungnya.
Aku berharap bisa menyelamatkan lelaki pertamaku.
Tapi rupanya sia-sia..
Dia lebih ingin bertemu dengan Sang Pemilik Jiwanya.
Lelaki pertamaku begitu rindu pada-Nya.
Kulihat dia melepaskan napas terakhirnya. 'Huff...'
Begitu perlahan, lalu badannya mendingin.
Dia.., Lelaki pertama yang pergi dalam dekapanku..

Ya..
Dialah lelaki pertamaku.
Lelaki pertama yang mencintaiku.
Lelaki pertama yang membuat mataku bengkak karena rindu.
Lelaki pertama yang ingin ku temui di dalam mimpiku.

Ya Rabb..
Jadikanlah kuburannya sebagai taman-taman syurga..