Hadiah Pertama Buat EMak dari Aisyah

Happy_Birthday_by_Karisca

“Mak, hari ini Mamak masak apa?” Esah yang baru pulang dari sekolah tanpa terpikir untuk membuka sepatu, langsung menghambur ke dapur menghampiri ibunya. Kemudian dia bergelayut di pundak Emak, membuat Emak sedikit terkejut.

“Hek, baunya badanmu, mandi dulu baru dekat-dekat Mamak.” Emak hanya bisa mengerutkan hidungnya karena kedua tangannya masih sibuk menggiling cabe, bawang, tomat di atas batu gilingan.

“Masak apa Mak?” Esah seperti tak menghiraukan sindiran Emak. Rasa lapar di perutnya membuat otak kiri-kanan-depan-belakang-besar-kecil-nya hanya memikirkan makan, makan dan makan.

Emak sedikit menggeser tangan Esah yang masih menggelayuti lehernya. Terasa sedikit tercekik mungkin sehingga membuat Emak susah untuk berkonsentrasi ke racikan sambalnya. Esah segera menarik tangannya namun wajahnya di dekatkan di depan wajah Emak, agar Emak bisa melihat wajah kelaparan dan penasarannya.

“Kau tengok sendiri lah. Masakan kesukaanmu.”

Esah terpancing untuk melihat sekeliling dapur kecil mereka. Dia memutar kepalanya berlawanan arah jarum jam. Kompor yang berkerak, rak piring reyot yang terlihat sempoyongan menahan beban, tempat garam, tempat gula, kantong plastik berwarna hitam, baskom hijau.

AHA! Mungkin di dalam baskom hijau itu. Tanpa ba-bi-bu Esah langsung menjangkau baskom tempat ‘curahan segala rasa laparnya’ yang mungkin sedang meringkuk manja.
Di luar harapan.

“Yah, Mak, masa’ ikan gembung lagi?” Esah meletakkan baskom hijau itu dengan wajah lunglai, baskom tadi sedikit terbanting karena Esah merasa tulang-tulangnya melunak seketika hingga tak mampu lagi menahan berat baskom.

“Banyak kali ceritamu.” Emak sedikit emosi melihat ekspresi Esah yang diluar harapannya.

“Semalam kan udah ikan gembung mak, sekarang ikan gembung lagi.” Tekanan suara Esah menurun. Betapa takut dia jika wanita yang paling dimuliakannya di seluruh jagat raya ini marah. “Bisa ikut gembung perut ini mak.” Esah memukul-mukul perutnya.

Emak sedikit menahan tawa, bagaimana pun juga ekspresi Esah sungguh terlihat lucu, apalagi tiba-tiba Emak membandingkan muka Esah dengan muka ikan gembung yang baru selesai disianginya* tadi. Muncung mereka sama panjangnya.

“Udah sekolah masih aja berkhayal yang tidak-tidak, kalau gembung nanti Emak pijit pakai minyak kayu putih.” Sekilas Emak memutar kepalanya memperhatikan Esah. Terlihat Esah sedang menatapi rombongan ikan gembung yang berjumlah 5 ekor itu dengan tatapan prihatin.

Mending ikan gembung ini yang Mamak gosok minyak kayu putih biar nggak gembung lagi.

Huff…. Esah menghela napas panjang. Emak pun menarik napas tak kalah panjangnya.
***********************************************************

Waktu makan siang tiba. Sebenarnya tak cocok lagi disebut makan siang karena jarum pendek telah menunjuk angka tiga. Tapi begitulah kondisi keluarga Esah. Emak baru pulang meladang pukul satu siang, terkadang pukul dua siang. Lalu sesampainya di rumah Emak segera bergegas ke pasar, sebab pagi-pagi sekali Emak harus sudah hadir di ladang Pak Manan untuk meladang. Emak hadir biasanya pukul setengah enam pagi setelah membangunkan Aisyah, Ikhsan, dan Syaiful untuk sholat subuh. Sarapan mereka telah siap di atas meja kecil yang terletak berdampingan dengan rak piring reyot kesayangan Emak (karena memang cuma satu-satunya dan telah 15 tahun tak pernah diganti) dan menu yang selalu sama, telur dadar, nasi putih, teh manis. Mereka tak pernah protes, kecuali si bungsu Aisyah tentunya.

“Esah mana Pol?” Emak sedikit melongok ke dalam mencari-cari sosok Aisyah.

“Ga tau Mak, kayaknya masih di kamar Mak.” Syaiful beranjak menuju kamar kecil mereka.
Kamar itu berukuran 3 x 4 meter. Cukup besar sebenarnya jika kamar itu dihuni sendirian, namun jika dihuni oleh empat orang, lain cerita. Disudut kanan terdapat sebuah lemari usang, menambah keserasian gambaran kehidupan miskin di rumah gubuk itu. Syaiful melirik dipan yang busanya telah kempis. Tak ada sosok Aisyah disana. Ternyata Aisyah bersembunyi di bawah kolong dipan, merajuk, tak mau makan walau lapar sudah tak tertahankan.

“Ga ada mak, tadi Epol udah cari ke kamar.” Syaiful menghampiri Emak yang sedang membagi tiap-tiap ekor ikan gembung ‘musuh baru Esah’ tadi menjadi dua bagian. Di piring itu hanya ada dua ekor ikan gembung goreng yang dilumuri dengan sambal racikan Emak tadi, sisanya disimpan Emak untuk makan malam. Ikan gembung pertama, Emak bagi menjadi dua bagian sama rata, untuk Syaiful dan Ikhsan. Ikan gembung kedua, Emak membaginya menjadi dua bagian, namun bagian ekor terlihat lebih banyak sehingga bagian satu lagi hanya tinggal duacenti saja menuju kepala, untuk Aisyah dan untuk dirinya sendiri. Begitulah setiap kali makan ikan, Emak selalu mengambil bagian kepala demi Aisyah.

Emak paham, Aisyah sedang merajuk. Bungsu manjanya ini memang sering bertingkah sama jika keinginannya tak terpenuhi. Terutama jika soal makanan. Walau kesal, Emak tak sepenuhnya menyalahkan Aisyah. Sudah hampir 3 hari ini mereka makan ikan jenis yang sama berturut-turut. Pagi, siang, malam, ke pagi lagi sampai malam lagi. Gembung. Memang ikan itulah yang termurah di pasar Pringgan, pasar langganan Emak. Terkadang Emak masih mau menyelingi dengan ikan lain atau bahkan jika beruntung mereka bisa makan dengan lauk ayam dan sayur yang diantar tetangga ujung yang kaya. Namun karena belakangan harus mencicil hutang ke koperasi untuk membeli seragam Aisyah di tahun ajaran yang baru, Emak mesti mengencangkan ikat pinggang. Bukan hanya ikat pinggang Emak sebenarnya tapi juga Syaiful, Ikhsan, dan yang paling Emak sesali, yaitu pinggang Aisyah. Aisyah belum bisa mengerti hal ini, dia masih kelas 3 SD, belum terbiasa hidup dalam keprihatinan seperti kakak-kakaknya yang lain.

“Ya udah, biar saja. Nanti juga kalau lapar nyari sendiri ke dapur.” Emak mengerlingkan mata kepada Syaiful dan Ikhsan, disambut dengan tawa kecil mereka. Emak lalu mengambil kepala ikan gembung dan meletakkannya di atas piringnya. Mereka makan dengan lahapnya, namun Emak sedikit kehilangan selera karena memikirkan Aisyah yang pasti sedang kelaparan.

Di kolong tempat tidur. Aisyah menggosok-gosok perutnya sambil sesekali menggigiti kuku-kukunya.

“Hiks…hiks..hiks..” Aisyah yang masih bertahan di kolong tempat tidur hingga menjelang malam kini mulai meledak tangisnya. Emak yang baru selesai sholat magrib cuek saja. Biarkan, biar tau rasa. Emak melanjutkan ‘ritual’ Magribnya dengan membaca Al-quran.

Setelah membaca ta’awudz lalu diikuti basmallah, Emak langsung menuju ke Surah Al-Baqarah ayat 286. Isakan Aisyah masih terdengar sayup-sayup.

“laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa lahaa maa kasabat wa'alayhaa maktasabat rabbanaa laa tu-aakhidznaa in nasiinaa aw akhthanaa /rabbanaa walaa tahmil 'alaynaa ishran kamaa hamaltahu 'alaa alladziina min qablinaa..”

Lalu lantunan ayat-ayat Emak terhenti, Emak terisak. Tak sanggup menyempurnakannya walau tinggal sedikit lagi. Ayat inilah yang selalu dilantunkan suaminya ketika sedang sakit. Emak membaca terjemahannya di dalam hati.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.

Isakan Emak dan Aisyah beradu, sahut-sahutan. Lalu Aisyah pun menangis kencang. Emak tak tega juga. Emak lalu mengintip Aisyah, “Masih mau disitu terus Sah?” Aisyah menggeleng pelan. “Mau minta maaf sama Mamak?” Aisyah mengangguk. “Lapar?” Aisyah mengangguk lagi, kali ini anggukannya kelihatan agak kencang. “Masih mau makan ikan gembung?” Aisyah mau tidak mau mengangguk.
Emak menarik Aisyah dari kolong tempat tidur kemudian meletakkanya di atas kasur. Tanpa sepatah kata lagi Emak langsung menuju ke dapur, mengambil nasi dan ikan gembung bagian Aisyah lalu melumuri nasi itu dengan kecap. Aisyah paling suka kecap manis. Makan tak terasa nikmat tanpa kecap, itu semboyan Aisyah. Seketika Emak sudah sampai di kamar dengan piring di tangannya. Kali ini Emak ingin menyuapi Aisyah, bungsunya yang manja. Perlahan-lahan Emak menyodokkan nasi di tangannya ke mulut Aisyah dengan tersenyum. Aisyah masih sedikit terisak, mungkin karena dia harus makan ikan ‘musuh’ ini juga akhirnya.
**********************************************************

Rutinitas yang sama. Jam makan yang sama, anggota keluarga yang sama, dan ikan gembung yang sama. Bedanya Aisyah tak pernah bertanya ‘Mamak masak apa?' lagi. Dia telah sedikit belajar tentang kesusahan orang yang tak bisa makan, orang yang kelaparan, orang miskin yang lebih miskin dari keluarganya. Aisyah lebih pandai bersyukur, dia sedang berusaha bersahabat dengan ikan gembung.

Seusai makan siang, Aisyah melihat kalender. Sebulan lagi Emak ulang tahun. Sebenarnya keluarga ini tak pernah kenal dengan yang namanya ulang tahun. Setiap ditanya kapan Emak, Bang Epol, Bang Esan lahir pun mereka suka lupa tanggalnya. Kecuali Aisyah tentunya. Aisyah mencari tahu kapan Emak dan Kakak-kakaknya lahir bahkan dia juga mencari tahu tanggal lahir ayahnya yang telah meninggal ketika Aisyah masih di dalam kandungan. Dia sudah terkena virus ulang tahun di sekolahnya. Setiap anak di sekolah selalu mengingat tanggal ulang tahun teman-teman mereka. Lalu ketika salah satu dari mereka ulang tahun, teman yang lain akan memberi ucapan selamat yang tak lazim. Lemparan telur, tepung, air comberan, minuman bersoda. Benar-benar bau dan kacau balau. Makanya setiap teman-temannya bertanya kapan dia berulang tahun, Aisyah selalu menjawab “lupa”.

Hmmm.. Sebulan lagi.. Masih sempat gak ya? Aisyah menimbang-nimbang sambil beberapa kali memainkan jari-jarinya seperti sedang berhitung. Ah, kayaknya masih.. Aisyah kemudian sumringah. Rupanya Aisyah berencana memberikan kado buat Emak. Kado pertama darinya. Tapi kendalanya adalah dia tak punya uang jajan, hanya punya ongkos naik angkot dan itupun pas-pasan. Namun Aisyah tak kehilangan akal, dia hanya akan memakai ongkos itu setengah saja, hanya untuk naik bis yang pertama sampai simpang Pemda. Seharusnya dia akan naik angkot lagi untuk sampai di depan jalan Nusa Indah, kemudian berjalan kira-kira 500 meter baru sampai ke gubuknya. Namun kali ini untuk menghemat dia akan jalan dari simpang Pemda ke rumah. Sisanya akan ditabung untuk membelikan Emak mukena baru.

“Esah kok makin kurus Mamak liat? Padahal makanmu kan banyak.” Emak memperhatikan Aisyah dari ujung rambut hingga ujung kaki ketika mereka sedang makan siang.

“Ah, Mamak juga.” Aisyah menjawab sekenanya sambil terus melahap makan siangnya.

“Eh, beda. Mamak memang dari dulu kurus. Kalo Esah kan gendut.” Emak menyengir, dia tau Aisyah paling marah kalau dibilang gendut.

“Diet mak, Esah lagi diet.” Aisyah masih cuek dengan obrolan itu karena yang dipikirkannya hanya mukena untuk Emak, sementara uangnya belum pun setengah dari harga mukena yang baru saja dilihatnya setelah pulang sekolah tadi. Tinggal seminggu lagi. Esah masih sempat gak ya?

“Eh, eh, jangan ya Mamak dengar Esah diet-diet lagi. Esah masih dalam masa pertumbuhan, ga ada itu diet-diet. Diet itu nanti pas udah mau nikah.” Emak mengernyitkan kening melihat kelakuan tak lazim bungsunya yang masih berumur 9 tahun 7 bulan ini.

“Iya Mak, lagi latihan, cuma latihan kok.” Aisyah semakin tak fokus. Di pikirannya hanya ada mukena putih bersih itu. Wanginya harum, ada sulaman bunga-bunga kecil berwarna biru-pink di ujung-ujung kainnya. Cantik sekali kalau Emak yang pakai.

“Ah, banyak kali ceritamu.” Emak akhirnya malas berbicara dengan Aisyah, Emak tau Aisyah sedang tidak fokus karena mata Aisyah dari tadi hanya menatap dinding bambu, sekali-kali dipejamkan, bola mata diputar-putar, persis seperti orang bingung. Tapi Emak tak tau apa kebingungan itu, kecuali nanti, seminggu lagi.

Dua hari lagi

Panik, panik, panik!

Aisyah benar-benar panik. Harapannya mulai pupus. Hingga saat ini uangnya baru enam puluh ribu rupiah. Mukena itu harganya seratus lima puluh ribu. Masih kurang Sembilan puluh ribu lagi. Dia menghitung ulang lagi uang yang telah sebulan kurang dua hari ini dia kumpulkan. Tak berubah tetap Rp.60.000,-. Dia belum percaya jika kekurangannya masih begitu banyak. Aisyah mengambil buku tulisnya kemudian dia mencari hasil Rp.150.000 dikurang Rp.60.000 dengan cara hitung ke bawah, seperti yang diajarkan gurunya di sekolah. Tetap juga, masih kurang Rp.90.000.

Tetap ga akan bisa terkejar, Ya Allah, Esah bingung sekarang…
Aisyah sedikit terisak. Dia benar-benar menginginkan mukena itu untuk Emaknya. Mukena Emak cuma satu dan itupun sudah kusam karena tiap seminggu sekali harus dicuci dengan deterjen murahan. Aisyah ingin membahagiakan Emak. Nasehat kakak-kakaknya tempo lalu begitu membekas di hatinya.

‘Esah tau kan, orang tua kita tinggal satu, ya Mamak.. Esah juga tau kan kalau surga di telapak kaki Mamak? Sekarang mungkin kita hidup susah, makan ikan gembung tiap hari, tapi kalau kita berbakti sama Mamak, Insya Allah, nanti kita bisa ngerasain makan ayam kesukaan Esah tiap hari di sana.’ Bang Esan mengacungkan jarinya ke atas. Aisyah menelan ludah. Membayangkan ayam bakar, ayam gulai, ayam semur, didampingi semangka dengan potongan besar, durian, ada juga anggur yang menjuntai-juntai , semua itu mengelilinginya. Di dalam bayangannya Aisyah bingung mau mencicipi yang mana duluan. “Makanya Esah ga boleh lagi bertingkah kayak semalam. Esah ngerti cakap Abang?” Ikhsan mengusap lembut kepala Aisyah. Aisyah mengangguk pelan, kemudian permisi tidur ke Bang Esan untuk meneruskan khayalannya tadi.

Hari Ulang Tahun Emak

Tetap tak cukup untuk mukena. Aisyah tertegun di kamar. Tak sendirian, Emak sedang tertidur pulas. Kelelahan sehabis memanen kol Pak Manan. Di sudut kamar teronggok sekardus penuh berisi kol. Selain memberi uang, pak Manan juga memberikan sedikit hasil panennya ke Emak. Keluarga ini alamat makan sayur kol selama sebulan lebih.
Aisyah memandangi wajah Emak. Jauh sekali kecantikannya jika dibandingkan dengan penghuni surga. Tangan Emak kasar, mukanya hitam, kulitnya mulai terlihat keriput dimakan cobaan. Napas Emak naik turun teratur dan terasa kuat. Mungkin karena kelelahan. Aisyah pun kelelahan. Kelelahan memikirkan uangnya yang tak cukup sampai saat ini. Aisyah memicingkan matanya, mencari ide lain.
Lalu, AHA!! Aisyah mendapat ide.

Kenapa Aisyah gak membelikan Mamak kue tart aja, pake lilin?
Walaupun Aisyah tau kue pasti habis, kalau mukena kan bisa dipakai terus, tapi Aisyah sudah bertekad memberikan sesuatu yang spesial buat Emak dan itu harus dilakukannya. Dia tak sanggup jika harus menunggu setahun lagi untuk memberikan kado buat Emak. Batinnya bisa tersiksa dan mungkin saja Emak nanti sudah beli mukena baru.

Aisyah bergegas bangkit menuju lemari pakaian, lalu mengambil kantongan plastik berwarna hitam yang disembunyikan di balik lipatan bajunya. Dia berganti pakaian lalu mencari sandal hendak keluar membeli kue tart. Tapi.. Malang, sungguh malang… Tiba-tiba langit menumpahkan semua tangisan yang tertahan, halilintar memekikkan kalimat-kalimat yang tercekat. HUJAN LEBAT.

Aisyah terpelongo, hatinya hancur, harapannya kini mulai kosong. Bendungan air matanya pun jebol. Aisyah terisak-isak. Kali ini isakannya tak tertahankan menjadi tangisan yang pecah seketika. Emak mendengar, lalu terbangun.

“Aisyah, kenapa nangis Nak?” Emak mendekati Aisyah dan berlutut di depannya sambil berusaha melihat mata Aisyah. Aisyah mengelak, dia menutupi wajahnya. Dia sebenarnya tak ingin Emak tau kalau dia sedang menangis, tapi mana mungkin ini semua disembunyikan lagi. Emak sudah melihat air mata itu, Emak sudah melihat kegelisahan itu. “Kenapa sayang?” Emak mengelus-elus kepala Aisyah. Aisyah belum mampu berkata-kata. Lalu akhirnya dia tak kuasa juga memendam perasaan kecewa ini sendirian, lalu dia memeluk emak erat-erat. Emak pun menggendongnya ke kamar.

Setelah tangisnya agak reda, Emak kembali menanyakan perihal tangisan itu. “Esah pingin beliin Emak hadiah..” Kalimat Aisyah menggantung karena isakan yang masih tersisa.

“Kenapa? Karena ini ulang tahun Emak ya?” Emak menunduk, berusaha mencari bola mata Aisyah. Tapi Aisyah hanya berani menatap kasur mereka yang sudah jauh dari kata empuk. Aisyah mengangguk perlahan. “Emak gak papa kok kalau ga dapat kado. Emak ga akan nangis lah, Emak janji.” Emak mengangkat tangan kanannya dan membentuk huruf V.

“Tapi Esah pingin ngasih kado spesial buat Mamak.” Kini Aisyah mulai mengangkat wajahnya dan menatap bola mata emak. Dua pasang bola mata yang bening itu saling beradu. Bola mata Emak mulai berkilauan, berkaca-kaca. “Tadinya Esah mau beliin Mamak kue tart, tapi hujan lebat. Esah kesal!”

“Ga boleh kesal, hujan itu rahmat, anugerah dari Allah. Coba Esah bayangin betapa senangnya tanaman, kodok-kodok, ikan-ikan.”

“Tapi kan Esah ga bisa beli kue tart untuk Mamak. Esah tetap kesal!” Aisyah menggigit bibir bawahnya tanda kesal.
Ruangan itu sepi sejenak,hanya terdengar suara parau hujan yang memukul-mukul atap seng mereka. Sekali-kali terdengar suara tetes air membasahi lantai. Mereka sedang berada dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan Emak, entah apa juga yang dipikirkan Aisyah.

Lalu tiba-tiba Emak tersenyum senang. “Mamak punya ide. Gimana kalau kita bikin aja kuenya sendiri, kan ga perlu beli keluar.” Emak dengan semangat menatap Aisyah. Aisyah mengernyit.

“Tapi kita kan ga punya bahannya Mak?” Pertanyaan Aisyah ada benarnya, di rumah itu mungkin ada telur, tapi mungkin cuma tinggal 2 buah, tapi tepung, susu, coklat, mereka sama sekali tidak punya.

“Ga pakai telur, tepung, gula dan bahan-bahan lainnya, malahan ga perlu dimasak. Esah cukup ambil lilin sama korek api di dapur ya.”

Aisyah heran, keningnya makin mengerut. Bibirnya maju. Tanda kalau dia sedang penasaran tapi dia melakukan semua perintah Emak. Aisyah pergi ke dapur mengambil lilin dan korek api. Dengan cepat Aisyah sudah kembali ke kamar karena dia begitu penasaran dengan kemisteriusan Emak. Ketika kembali ke kamar, Aisyah terperanjat melihat apa yang sedang digenggam Emak. Sebonggol besar kol dari kardus di sudut kamar mereka.

“Nah Esah, ayo kita tancapkan lilinnya di atas kol ini.” Aisyah pun menyengir. Masih tak percaya dengan jalan pikiran Emak. Tapi dia tetap melakukannya. Lilin yang tadi digenggamnya kini sudah menancap dalam di kol, lalu Aisyah menyalakan korek api lalu membakar sumbu lilin. Emak ingin buru-buru meniupnya, tapi Aisyah menahannya dengan segera.

“Bentar Mak! Jangan dulu ditiup.”

Aisyah lalu bernyanyi lagu yang paling indah yang pernah Emak dengar sambil memegang ’kol tart’ ulang tahun Emak.

Hepi Besdey to yu.. Hepi Besdey to Yu.. Hepi Besdey to Yu....

Emak memejamkan matanya, menikmati suara cempreng anak bungsunya yang seketika terasa begitu merdu. Setetes air mata Emak tumpah seiring suara tetesan hujan lebat di hati Emak. Emak merasa bahagia.

Lagu pun selesai, Emak meniup lilin pertamanya. Lalu Emak berpura-pura memotong ‘kol tartnya’ dan memberi suapan pertama kepada bungsu kesayangannya. Aisyah melakukan hal yang sama tapi dia lebih jago beracting. Aisyah menyuapi potongan ‘kol tart’ ke dalam mulut Emak. Mereka berdua tertawa bahagia.

Ya Allah, jadikanlah Aisyah anakku ini sebagai salah satu bidadari surga. Doa pertama Emak di hari ulang tahunnya.

Langit gaduh, menggelegar, riuh rendah, sebuah istana sedang dibangun, pagar-pagarnya ditumbuhi bunga mawar merah, dihinggapi kupu-kupu berwarna biru bercampur merah jambu. Perpaduan warna yang mirip dengan bunga-bunga kecil di ujung mukena impian Aisyah. Di depan pintunya tergantung sebuah papan bertuliskan.

Ahlan wa Sahlan ya Aisyah**
*********************************************************
(Shafira Frida)

*dibersihkan
**Selamat Datang ya Aisyah