Ya Allah, Aku Bukannya Bakhil, Hanya Saja...



Mencoba bercerita dengan tetap mempertahankan bahasa Medanku.. hehe..

Pak Udin pulang dari Surau dengan muka kusut. Wajahnya jadi kian keriput. Pasti ada sesuatu yang dipikirkannya. Padahal ini baru taraweh pertama. Dia berjalan pulang dengan langkah buru-buru sambil tertunduk layaknya orang yang baru ketahuan mencuri sandal di Surau. Tapi eitss, manalah mungkin Pak Udin begitu, Dia bukan orang sembarangan. Sandal dari emas pun bisa ditempahnya ditambah hiasan berlian di pinggirnya. Malahan sandalnya paling bagus diantara jemaat yang lain. Sandalnya dari kulit asli dan kelihatan sangat lembut, menutup jari-jari kakinya dengan bagian belakang yang terbuka sehingga kelihatan tumitnya terangkat bergantian ketika berjalan. Hmm… Pak Udin, ada apa sih sebenarnya? Pak Udin kenapa ya?

Taraweh malam kedua, mukanya tetap kusut tertekuk seperti jeruk purut. Aih, tak enaklah dipandang. Padahal tadi pergi ke surau dengan begitu gagahnya, baju koko ‘Ramadhan’nya tampak rapi, kelihatan teliti sekali yang menyetrika, semerbak wangi parfum Bulgary melayang-layang dibawa angin malam. Sajadah hijau kombinasi kuning dan merah disampirkannya di bahu, kelihatannya mahal. Pak Udin tak pernah lupa lobe putih andalannya yang khusus dibeli di Mekkah.

Sungguh eloknya, benar-benar berpenampilan istimewa ketika ingin menghadap Tuhannya. Subhanallah, banyak jemaah yang melirik pada Pak Udin, mungkin mereka iri, baju mereka seadanya, sudah mulai pudar pula. Sarungpun belum diganti dengan yang baru dicuci. Malah ada abang becak yang memakai baju sehabis ‘narik’, yang basah penuh keringat. Akh.. Parah..
Sebenarnya mereka sadar, begitulah seharusnya, seperti Pak Udin, penampilan kita ketika menghadap Allah yang Maha Agung. Tapi dengan bermacam alasan mereka tak melaksanakannya. Jadi, janganlah iri melihat penampilan elok Pak Udin yang begitu mengistimewakan Tuhannya. Siap-siapkan mata untuk risih dan hati untuk miris melihatnya selama 30 hari ini.

Begitu eloknya dia ketika ingin pergi ke surau, namun begitu kusutnya dia ketika pulang dari surau. Sungguh aneh si Pak Udin.

Tak terasa malam ini taraweh malam ke tujuh belas. Tak ada yang berubah, Pak Udin masih yang paling mantap kalau akan berangkat ke surau, dan sekaligus yang paling kusut ketika pulang dari surau.
Sehabis sholat isya, ustadz pun berdiri menyampaikan ceramah singkat. Sebenarnya tak bisa juga disebut singkat, karena ceramah mereka rata-rata berdurasi 30 menit. Pada saat ceramah itulah, sumber kekusutan Pak Udin dimulai.

*********************************************************
Kotak itu berbentuk balok, cukup mungil, mungkin berukurang sekitar 20x20x20 cm. Itulah kotak yang membuat Pak Udin cemas. KOTAK AMAL. Masing-masing shaf mendapatkan satu jatah kotak. Kotak itu diedarkan dari jemaah satu ke jemaah lain. Tiap orang yang dilewati kotak itu memasukkan uang sekedarnya. Pak Udin terus memperhatikan kotak itu berjalan mendekat ke arahnya. Semakin dekat kotak itu ke tempat dimana dia duduk, maka semakin bertambah rasa cemas dihatinya. Berdegup kencang jantungnya, bercucuran keringatnya. Dan ketika sedikit lagi menghampirinya, Pak Udin langsung berdiri dan melangkah ke toilet. Dia pun lega. Kotak amal itu akhirnya berhasil dihindarinya lagi dengan taktik ‘buang air kecil’ seperti biasanya.

Namun orang-orang tak bisa dibohongi, kelakuan Pak Udin menjadi omongan yang tak bisa dihindari. Apalagi dia terkenal kaya di kampungnya, kalaupun orang miskin yang tak menyumbang tentu tak masalah, tapi Pak Udin adalah orang yang terpandang kekayaannya. Cukup berlimpah hartanya. Anaknya saja dua orang kuliah di luar negeri, di Malaysia dan di Mesir. Menurut warga, tak sepatutnya dia bertingkah layaknya orang yang miskin begitu.

Tak punya uangkah Pak Udin? Tentu mustahil. Bulan puasa pun menjadi bulan yang berkurang keberkahannya di kampung Sei Bamban karena warganya punya topik hangat untuk digunjingkan. “Pak Udin yang takut kotak amal.”

Pak Udin semakin tak kuat menahan rengutan di wajahnya. Semakin tak kuat hatinya menghindari kotak amal. Semakin panas kupingnya mendengar gunjingan warga tentang dirinya. Akhirnya taraweh malam ini dia bertekad untuk memasukkan uang ke kotak amal itu apapun yang terjadi.
Dari tadi siang Pak Udin sibuk sendiri, sibuk tak menentu. Dia menungging mencari-cari sesuatu di kolong tempat tidur, di kantongan baju dan celana, di bawah tempat tidur, di sudut-sudut lemari, dimanapun yang dia curigai tempat sembunyinya sesuatu yang dia cari. Tapi nihil.

Pak Udin tak putus asa, dia terus mencari yang tersembunyi. Dia juga mencari di bawah pot bunga, di tong sampah dekat meja kerjanya, malah dia sampai mengorek-ngorek tanah layaknya ayam sedang mencari makanan. Pak Udin cemas, berkeringat deras, rambutnya basah. Maghrib sebentar lagi, tapi yang dicari blom ditemui. Rasanya dia ingin mati.
Akhirnya Pak Udin menyerah, tapi dia sudah berjanji akan mengisi kotak amal, janji tetap janji, harus ditepati. Otaknya berputar bagaimana cara dia menepati janji, yang dicari belum juga dia temui. Akhirnya setelah buka puasa pikirannya agak cerah, dan setelah konsultasi dengan istrinya, dia mendapatkan solusi.
********************************************************

Pak Udin sungguh berbeda, tak seperti biasanya. Pergi ke surau dengan hati berdendang dan pulang dengan hati meringis. Mulai malam ini akan berbeda, Pergi ke surau dengan hati berdendang dan pulang dengan hati senang. Tak ada lagi yang akan menggunjinginya, warga pun semakin menaruh hormat padanya.
Ah, setelah berkonsultasi dengan isteri tersayang, akhirnya hatinya pun lega, masalahnya pun perlahan reda. Itulah gunanya isteri, menyejukkan hati sang suami dan bersama mencari solusi.

Akhirnya aku bisa juga memasukkan sesuatu ke dalam kotak amal itu, walaupun bukan uang hanya secarik kertas kosong yang potong seukuran uang, tapi tentu Allah akan memaklumi, begitu kata isteriku tersayang.

Pak Udin melangkah pulang dengan mantap, lebih mantap daripada langkahnya pergi ke surau sambil terus berdoa dalam hati, bukan, lebih tepatnya mengoceh.

Allah Robbi..
Sudah Kau saksikan kan tadi? Aku sudah mencari kesana kemari uang yang mungkin tercecer, tapi aku benar-benar tak menemukannya. Aku harap Engkau maklum, wahai Tuhan yang Maha Mengerti.

Satu yang pasti, aku bukannya bakhil, aku hanya tak punya uang kecil.

0 komentar:

Posting Komentar