Tangisan Pilu Ucok dan Ujang


ada dua tangisan..
sayup2 dari balik pagar emas...
ada perut-perut yang diremas, ada tangan-tangan yang meremas...
ada baju-baju yang diremas..

dua tangisan beda dunia..
dua dua menitikkan air mata..
dua dua beda rasa..
dua dua mengusap-usap 'kampung tengah' yang mulai rusuh tak terarah..
warga mulai naik darah, warga mulai resah..
dua dua mereka gelisah..

ada tangisan si ujang yang inginkan sekotak pizza, makanan si mbok kurang ajar itu tak menarik selera..
diremas-remasnya, dibuat-buatnya air mata, dikeras-keraskannya suara, "Lapaaaarrr, Pizzzaaaaaaaaaa!!!"
Mami Papi cuek saja, sedang asyik menggosok berlian, Ujang terisak-isak, Ujang mulai muak..

ada tangisan si Ucok yang inginkan segenggam nasi, walau itu basi..
tongkat ditangan mengais-ngais bak sampah Ujang...
"Pizzaaaaaaaaaa..." sayup-sayup terdengar rengekan Ujang..
Ucok menetes air liurnya, disusul air matanya..
kampung tengah Ucok mulai marah, ucok meringis perih..
diremasnya, ditekuknya, dilipatnya..
Ucok memandangi bak nasinya hari ini, tak ada nasi, walau itu basi..
Ucok terisak..
Ucok mengusap-usap perut kesayangannya..
"Tenang wargaku, kita masih punya mimpi..."

=Shafira Frida=

Menulis Yok..!!



Beberapa waktu belakangan ini hasrat menulisku bergejolak..
Banyak khayalan-khayalan dalam otakku yang berkelebat, dan ingin ku tulis..
tapi..
ya itu dia pas duduk di depan komputer malah blank..blank..blank.. yang ada malah main internet ato game..

kemaren aku baca artikel bagaimana cara menulis yang benar..

1. Jangan menunggu ide datang, tapi jemputlah.. ketikkanlah kata-kata yang terlintas di benak, apapun itu, hingga lambat laun dari kumpulan kata-kata yang kacau balau menjadi kata-kata yang bermakna dan mempunyai pola..setelah diedit sana sini, duar..jadilah sebuah karya..
2. Menurut Buya Hamka, menulis dengan mengumpulkan data terlebih dahulu adalah salah. "Cobalah tulis dari hatimu dahulu. Tangkap ide yang berkelebat agar tak segera lenyap. Alirkan apa saja emosi dan pikiran yang ada di benak dan hatimu. Biarkan ia mengalir sebebas-bebasnya hingga mencapai keutuhan dan garis besar tulisan. Setelah itu barulah kumpulkan serta sisipkan data-data pendukung dalam tulisanmu agar ia lebih berbobot dan argumentatif.” Ide-ide yang berkelebat dikepala biasanya bersifat orisinil, segar, jangan biarkan menguap karena sibuk mengumpulkan data, inilah yang membuat tulisan kebanyakan menjadi kering dan sama sekali tidak menyentuh.
3. Nah, setelah tulisan sudah tuntas ditulis dengan mengindahkan kiat-kiat di atas, “tinggalkan saja barang dua minggu, bersantailah dengan bermain voli dengan tetangga”, pesan, Mohammad Diponegoro. Ini bertujuan untuk menghilangkan rasa narsisme. Biasanya ketika baru selesai mengerjakan sebuah tulisan kita akan terkagum-kagum akan karya kita dan buru-buru di posting, padahal kalau kita 'endapkan' lebih dahulu mungkin ketika kita membacanya kembali akan kelihatan banyak kesalah disana-sini yang penting untuk diperbaiki.

berarti caraku salah selama ini, berharap ingin se-perfect mungkin dengan mengumpulkan data dahulu, baru menulis...
bah..
ayo semangaaatt...raihlah impianmu..


sebagian dikutip dari:
http://nursalam.multiply.com/journal?&page_start=120

Takkan Kujual Langkahmu dengan Harga Seribu



Sudah lama tak kudengar langkahmu..
Langkah yang selalu berubah-ubah rima..
Langkah hati-hati, tak ingin menginjak seekor semut pun yang sedang menjinjing nasi di punggungnya..
Karena kau bilang, nanti kau akan repot mencari keluarganya dan meminta maaf atas kematiannya..

Kau juga suka mengendap-endap melewati pohon mangga, tak ingin membangunkan ratu lebah yang kerjanya hanya tidur meringkuk manja, walaupun aku tau kau sebal dengannya, ya kan?
Kau bilang, kau takut tak punya cukup madu untuk meredam kemarahan bala tentaranya..
Tunggu, mau kau kumpulkan dulu, baru kau akan menggedor kamar si Pemalas itu..

Kau juga punya langkah riang melompat-lompat dan sesekali menepukkan kedua kakimu di udara..
Saat kau berhasil memetik kaktus gurun ternama tanpa duri menempel sedikitpun di dada..
Kemudian kau berikan pada Kekasihmu dengan langkah malu-malu..
Kaktus itupun layu, tak tahan dengan pancaran panasnya pipimu..

Aku paling suka langkah lebarmu, langkah mantap dan sedikit terburu, seperti ada rasa rindu..
Ketika kau menuju rumah berkubah hijau bertahtakan al-qamar wan-najmu,
Lalu kau lantunkan lagu kerinduan-Nya melihat wajah-wajah basah dan hati-hati yang berserah..
Mereka datang dengan langkah bersiap pasrah.
Kaki-kaki mereka basah, lengan pundak saling beradu di belakangmu..
Kau lebarkan kakimu selebar bahu, lalu kau terpaku..
Tergugu, terharu..

Hey…
Aku terpana melihatmu berjalan
Kau di bumi, namun langkahmu membekas di langit..
Lihat jejakmu itu, membuat lubang di langitku, dan menjadi sarang bagi bintang-bintang nakalku..
==========================================
Takkan (PERNAH) kujual langkahmu (WALAU) dengan harga seribu..

=Shafira Frida=

Kakekku Sungguh Kampungan..



dedicated for my "almost dissapear" heroes.. (sebuah puisi sindiran)

Kakekku memalukan..
Dinding masih saja melekat Foto artis 50-an,jenggot, kumis pun acak-acakan..
Cangklong terselip, dia pikir tampan?

Robek
Kreek..
Lumat
Maaat..
Ancang-ancang
“hup.. Gol..”

Tangan ditepuk-tepuk, bibir menyungging, mata mengerling..

Kakeek, kakeek…
Sekarang era bibir mungil, mata centil..
Body bohay, senyum aduhay..
Ck..ck..ck..
Kakek tentu sudah hilang gairah, satu lagi poster ibu berkebaya bermuka pasrah, bersanggul sebesar tampah..

Sekali lagi..
Robek..
“Kreek..”
Lumat..
“Maat..”
Hup.. Gooool..

Bercengkramalah kalian di tong sampah..
Saatnya ganti poster Siti Nurhaliza, paling tidak Rhoma Irama..
Akh.. Sempurna!!
***************************************

Tong sampah berguncang, mengerang…
Badan meriang, bukan kepalang..
Bagaimana tidak?
RA kartini dan Teuku Umar datang bertandang

=Shafira Frida=

Ya Allah, Aku Bukannya Bakhil, Hanya Saja...



Mencoba bercerita dengan tetap mempertahankan bahasa Medanku.. hehe..

Pak Udin pulang dari Surau dengan muka kusut. Wajahnya jadi kian keriput. Pasti ada sesuatu yang dipikirkannya. Padahal ini baru taraweh pertama. Dia berjalan pulang dengan langkah buru-buru sambil tertunduk layaknya orang yang baru ketahuan mencuri sandal di Surau. Tapi eitss, manalah mungkin Pak Udin begitu, Dia bukan orang sembarangan. Sandal dari emas pun bisa ditempahnya ditambah hiasan berlian di pinggirnya. Malahan sandalnya paling bagus diantara jemaat yang lain. Sandalnya dari kulit asli dan kelihatan sangat lembut, menutup jari-jari kakinya dengan bagian belakang yang terbuka sehingga kelihatan tumitnya terangkat bergantian ketika berjalan. Hmm… Pak Udin, ada apa sih sebenarnya? Pak Udin kenapa ya?

Taraweh malam kedua, mukanya tetap kusut tertekuk seperti jeruk purut. Aih, tak enaklah dipandang. Padahal tadi pergi ke surau dengan begitu gagahnya, baju koko ‘Ramadhan’nya tampak rapi, kelihatan teliti sekali yang menyetrika, semerbak wangi parfum Bulgary melayang-layang dibawa angin malam. Sajadah hijau kombinasi kuning dan merah disampirkannya di bahu, kelihatannya mahal. Pak Udin tak pernah lupa lobe putih andalannya yang khusus dibeli di Mekkah.

Sungguh eloknya, benar-benar berpenampilan istimewa ketika ingin menghadap Tuhannya. Subhanallah, banyak jemaah yang melirik pada Pak Udin, mungkin mereka iri, baju mereka seadanya, sudah mulai pudar pula. Sarungpun belum diganti dengan yang baru dicuci. Malah ada abang becak yang memakai baju sehabis ‘narik’, yang basah penuh keringat. Akh.. Parah..
Sebenarnya mereka sadar, begitulah seharusnya, seperti Pak Udin, penampilan kita ketika menghadap Allah yang Maha Agung. Tapi dengan bermacam alasan mereka tak melaksanakannya. Jadi, janganlah iri melihat penampilan elok Pak Udin yang begitu mengistimewakan Tuhannya. Siap-siapkan mata untuk risih dan hati untuk miris melihatnya selama 30 hari ini.

Begitu eloknya dia ketika ingin pergi ke surau, namun begitu kusutnya dia ketika pulang dari surau. Sungguh aneh si Pak Udin.

Tak terasa malam ini taraweh malam ke tujuh belas. Tak ada yang berubah, Pak Udin masih yang paling mantap kalau akan berangkat ke surau, dan sekaligus yang paling kusut ketika pulang dari surau.
Sehabis sholat isya, ustadz pun berdiri menyampaikan ceramah singkat. Sebenarnya tak bisa juga disebut singkat, karena ceramah mereka rata-rata berdurasi 30 menit. Pada saat ceramah itulah, sumber kekusutan Pak Udin dimulai.

*********************************************************
Kotak itu berbentuk balok, cukup mungil, mungkin berukurang sekitar 20x20x20 cm. Itulah kotak yang membuat Pak Udin cemas. KOTAK AMAL. Masing-masing shaf mendapatkan satu jatah kotak. Kotak itu diedarkan dari jemaah satu ke jemaah lain. Tiap orang yang dilewati kotak itu memasukkan uang sekedarnya. Pak Udin terus memperhatikan kotak itu berjalan mendekat ke arahnya. Semakin dekat kotak itu ke tempat dimana dia duduk, maka semakin bertambah rasa cemas dihatinya. Berdegup kencang jantungnya, bercucuran keringatnya. Dan ketika sedikit lagi menghampirinya, Pak Udin langsung berdiri dan melangkah ke toilet. Dia pun lega. Kotak amal itu akhirnya berhasil dihindarinya lagi dengan taktik ‘buang air kecil’ seperti biasanya.

Namun orang-orang tak bisa dibohongi, kelakuan Pak Udin menjadi omongan yang tak bisa dihindari. Apalagi dia terkenal kaya di kampungnya, kalaupun orang miskin yang tak menyumbang tentu tak masalah, tapi Pak Udin adalah orang yang terpandang kekayaannya. Cukup berlimpah hartanya. Anaknya saja dua orang kuliah di luar negeri, di Malaysia dan di Mesir. Menurut warga, tak sepatutnya dia bertingkah layaknya orang yang miskin begitu.

Tak punya uangkah Pak Udin? Tentu mustahil. Bulan puasa pun menjadi bulan yang berkurang keberkahannya di kampung Sei Bamban karena warganya punya topik hangat untuk digunjingkan. “Pak Udin yang takut kotak amal.”

Pak Udin semakin tak kuat menahan rengutan di wajahnya. Semakin tak kuat hatinya menghindari kotak amal. Semakin panas kupingnya mendengar gunjingan warga tentang dirinya. Akhirnya taraweh malam ini dia bertekad untuk memasukkan uang ke kotak amal itu apapun yang terjadi.
Dari tadi siang Pak Udin sibuk sendiri, sibuk tak menentu. Dia menungging mencari-cari sesuatu di kolong tempat tidur, di kantongan baju dan celana, di bawah tempat tidur, di sudut-sudut lemari, dimanapun yang dia curigai tempat sembunyinya sesuatu yang dia cari. Tapi nihil.

Pak Udin tak putus asa, dia terus mencari yang tersembunyi. Dia juga mencari di bawah pot bunga, di tong sampah dekat meja kerjanya, malah dia sampai mengorek-ngorek tanah layaknya ayam sedang mencari makanan. Pak Udin cemas, berkeringat deras, rambutnya basah. Maghrib sebentar lagi, tapi yang dicari blom ditemui. Rasanya dia ingin mati.
Akhirnya Pak Udin menyerah, tapi dia sudah berjanji akan mengisi kotak amal, janji tetap janji, harus ditepati. Otaknya berputar bagaimana cara dia menepati janji, yang dicari belum juga dia temui. Akhirnya setelah buka puasa pikirannya agak cerah, dan setelah konsultasi dengan istrinya, dia mendapatkan solusi.
********************************************************

Pak Udin sungguh berbeda, tak seperti biasanya. Pergi ke surau dengan hati berdendang dan pulang dengan hati meringis. Mulai malam ini akan berbeda, Pergi ke surau dengan hati berdendang dan pulang dengan hati senang. Tak ada lagi yang akan menggunjinginya, warga pun semakin menaruh hormat padanya.
Ah, setelah berkonsultasi dengan isteri tersayang, akhirnya hatinya pun lega, masalahnya pun perlahan reda. Itulah gunanya isteri, menyejukkan hati sang suami dan bersama mencari solusi.

Akhirnya aku bisa juga memasukkan sesuatu ke dalam kotak amal itu, walaupun bukan uang hanya secarik kertas kosong yang potong seukuran uang, tapi tentu Allah akan memaklumi, begitu kata isteriku tersayang.

Pak Udin melangkah pulang dengan mantap, lebih mantap daripada langkahnya pergi ke surau sambil terus berdoa dalam hati, bukan, lebih tepatnya mengoceh.

Allah Robbi..
Sudah Kau saksikan kan tadi? Aku sudah mencari kesana kemari uang yang mungkin tercecer, tapi aku benar-benar tak menemukannya. Aku harap Engkau maklum, wahai Tuhan yang Maha Mengerti.

Satu yang pasti, aku bukannya bakhil, aku hanya tak punya uang kecil.

Inginku, dari Rahimku..




Ruangan yang cuma sejengkal ini…
Hari ini kubersihkan, kurapikan karena penuh dengan tumpukan rinduku pada kalian..
Ini cuma ruangan kosong, tak ada kursinya, tak ada karpetnya..
Yang ada bau minyak wangi yang kutumpahkan di sudut-sudut ruangan agar kalian merasa nyaman..

Kapan kalian datang?
Belumkah puas berada di sana?
Kalau ingin datang, tolong satu persatu..
Jangan berebutan..
Tentara tentu tau aturan, dan bidadari pasti seanggun angin malam…

Mari kita bentuk barisan.
Kau, tentara gagah perkasa, berdiri paling depan!
Perangilah semua kemunafikan! Tancapkan bendera berlafadzkan nama Tuhan!

Kalau kau, Bidadari, duduk di sampingku!
Cukuplah kau mendoakan. Ayunkan tangan penuh kegemulaian, senandungkan puji-pujian yang sudah kuajarkan, jangan sampai sedikitpun kau lupakan..

Kalau aku… ?
Tentu menunggu..
Suatu saat kalian datang menyelamatkanku..

Jika ternyata aku mati lebih dahulu..

~Shafira Frida~

Lelaki Pertamaku




Teringat kepada puisi yang pernah kubuat disaat ku merindukan Buya... Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'afihi, wa fu'anhu..

Bundaku menahan sakit. Berjuang antar hidup dan mati.
Lelaki itu berjalan mondar-mandir di luar pintu dengan keringat yang mengucur.
Dia menunggu suatu jeritan dan tangisan.
Akhirnya..
Bundaku menjerit, dan aku pun menangis keras.
Dia tersenyum lega.
Mengambilku dengan segera ke pelukannya dan membisikkan sebuah lantunan iqomah ke telinga kecilku.
Kata Bunda aku langsung terdiam mendengar syahdu suaranya.
Dia, lelaki pertama yang meredakan tangisku.

Setiap sore dia menimang-nimangku sambil bersenandung. Semua senandung dia lantunkan. Aku semakin sering melihatnya tersenyum. Apa semua karena kehadiranku? Wah, Ge-eR..
Hihihi.. Tapi yang jelas dia pria yang paling mencintaiku karena setiap hari selalu ada puluhan ciuman mendarat di pipiku..
Dia..,lelaki pertama yang menciumku.

Aku pernah marah padanya.
Karena setelah kelahiran adikku, aku merasa cintanya mulai terbagi. Apalagi adikku laki-laki, sang penerus nama dan cita-citanya kelak, sang pengganti nakhoda kalau dia pegi nanti.
Aku marah karena semenjak itu setiap pulang dari kantor bukan aku lagi yang diciumnya pertama kali, tapi adikku itu.
Dia...,lelaki pertama yang membuatku cemburu.

Aku menarik ujung bajunya dan bertanya dengan mata sinis,
"Kenapa sekarang Pia yang nomor dua dicium?"
Aku bersungut-sungut.
Lelaki itu tertawa dan mengulum senyum.
"Pia kan dah 5 tahun Buya cium pertama kali, sekarang gantian ya.. Bunda aja nggak protes jadi yang nomer tiga."
Waaah.. aku semakin panas.
Aku merajuk, menunjukkan watak asli gadis melayu. (hehehe)
Dia membujukku..
Merayuku dengan membelikan majalah 'Aku Anak Sholeh' setiap pulang dari kantor.
Aku pun luluh, mana bisa aku marah berlama-lama pada lelaki pertamaku.
Dia.., lelaki pertama yang merayuku.

Ketika aku remaja. Aku pun mengenal cinta.
Aku mulai genit dan suka berkaca. Memandangi wajah di cermin berjam-jam padahal aku tau wajahku juga takkan berubah.
Dan ternyata Lelaki itu mengintip dari balik pintu kamarku.
Dengan wajah menahan senyum dia berkata, "Anak Buya sekarang sudah besar ya..."
Aku langsung merona, lari secepatnya ke tempat tidur dan menutup mukaku dengan bantal.
Dia.., lelaki pertama yang membuatku tersipu. >_<

Tepat umurku 16 tahun, aku memutuskan menutup auratku.
Aku pun memamerkan penampilanku yang baru pada Lelaki itu.
Dia terpana..
Wajahnya dibuatnya seolah-olah menganga, terkejut..
Dia berpura-pura melihat seorang gadis yang belum pernah dikenalnya dengan wajah yang genit ingin menggoda.
Dia mengusap dada.
"Waaah, ini baru gadis Buya."
Padahal aku tau itu semua hanya pura-pura, tapi aku merona juga.
Dia, lelaki pertama yang memuji kerudungku dan ingin menggodaku. Hihihihi, lucu.. ^_^

Waktu itu hari yang indah.
Lelaki itu bercerita tentang segala impiannya. Kami semua mendengarkan dengan bersemangat.
Mobil butut kami terlihat ramai sekali.
Tiba-tiba dia menatap lurus ke depan, tatapannya seperti melihat sesuatu yang selama ini dinanti.
Kosong..
Tiba-tiba dia terkulai ke samping, tepat ke pangkuan Bunda. Bundapun sempat tertawa karena mengira dia bercanda..
"Buya, Bunda sedang menyetir nih.. Jangan becanda ah.." Bunda berkata genit.
Rupanya dia bergeming. Tak ada reaksi. Aku sadar sesuatu yang kutakutkan hari ini terjadi.
Aku membetulkan posisi duduknya. Aku melihat wajahnya menahan sesuatu yang ingin keluar.
Aku memukul-mukul pipinya, ingin menyadarkannya dari mimpi. Ataukah aku yang sedang bermimpi?
Ku beri dia napas buatan, kututup hidungnya, kupompa jantungnya.
Aku berharap bisa menyelamatkan lelaki pertamaku.
Tapi rupanya sia-sia..
Dia lebih ingin bertemu dengan Sang Pemilik Jiwanya.
Lelaki pertamaku begitu rindu pada-Nya.
Kulihat dia melepaskan napas terakhirnya. 'Huff...'
Begitu perlahan, lalu badannya mendingin.
Dia.., Lelaki pertama yang pergi dalam dekapanku..

Ya..
Dialah lelaki pertamaku.
Lelaki pertama yang mencintaiku.
Lelaki pertama yang membuat mataku bengkak karena rindu.
Lelaki pertama yang ingin ku temui di dalam mimpiku.

Ya Rabb..
Jadikanlah kuburannya sebagai taman-taman syurga..